HADIST TENTANG MAKAN DAN MINUM
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
{ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ
وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ }
“Wahai anakku,
sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang
berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)
Hadits di atas mengandung tiga adab
makan:
a.
Pertama, membaca basmallah
Di antara
sunnah Nabi adalah mengucapkan bismillah sebelum makan dan minum dan
mengakhirinya dengan memuji Allah. Imam Ahmad mengatakan, “Jika dalam satu
makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut adalah makanan yang
sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama Allah saat mulai makan,
memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang yang turut makan dan berasal dari
sumber yang halal.
Menyebut nama
Allah sebelum makan berfungsi mencegah setan dari ikut berpartisipasi menikmati
makanan tersebut. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apabila kami makan
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak memulainya sehingga
Nabi memulai makan. Suatu hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tiba-tiba datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut
terdorong untuk meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan.
Dengan segera Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu
datanglah seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan di dorong oleh sesuatu.
Nabi lantas memegang tangannya. Sesudah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya syaitan turut menikmati makanan yang tidak
disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis tersebut dengan
maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada karena gadis tersebut belum
menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh karena itu aku memegang tangan anak
tersebut. Syaitan pun lantas datang bersama anak Badui tersebut supaya bisa
turut menikmati makanan. Oleh karena itu, ku pegang tangan Arab Badui itu. Demi
Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya tangan syaitan itu berada di
tanganku bersama tangan anak gadis tersebut.” (HR Muslim no. 2017)
Bacaan
bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa
tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan
ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang
berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits
shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut
persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibnu Hajar
al-Astqalani mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung
klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillahirramanirrahim ketika hendak makan itu
lebih afdhal.” (Fathul Baari, 9/431)
Apabila kita
baru teringat kalau belum mengucapkan bismillah sesudah kita memulai makan,
maka hendaknya kita mengucapkan bacaan yang Nabi ajarkan sebagaimana dalam
hadits berikut ini, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu kalian hendak makan, maka
hendaklah menyebut nama Allah. Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal
makan, maka hendaklah mengucapkan bismillahi awalahu wa akhirahu.” (HR Abu
Dawud no. 3767 dan dishahihkan oleh al-Albani)
Apabila kita
selesai makan dan minum lalu kita memuji nama Allah maka ternyata amal yang
nampaknya sepele ini menjadi sebab kita mendapatkan ridha Allah. Dari Anas bin
Malik, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang menikmati makanan lalu
memuji Allah sesudahnya atau meneguk minuman lalu memuji Allah sesudahnya.” (HR
Muslim no. 2734)
Bentuk bacaan
tahmid sesudah makan sangatlah banyak. Diantaranya adalah dari Abu Umamah,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai makan mengucapkan:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا
غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ
}
“segala puji
milik Allah Dzat yang mencukupi kita dan menghilangkan dahaga kita, pujian yang
tidak terbatas dan tanpa diingkari.”
Terkadang beliau juga mengucapkan:
{ الـحَمْدُ للـهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً
مُبَارَكاً فِيهِ، غَيْرَ [مَكْفِيٍّ ولا] مُوَدَّعٍ، ولا مُسْتَغْنَىً عَنْهُ رَبَّنَا }
“Segala puji
bagi Allah dengan pujian yang banyak dan penuh berkah meski bukanlah pujian
yang mencukupi dan memadai, dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR.
Bukhari).
Dari
Abdurrahman bin Jubair dia mendapat cerita dari seorang yang melayani Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam selama delapan tahun. Orang tersebut mengatakan,
ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan bismillah
apabila makanan disuguhkan kepada beliau. Apabila selesai makan Nabi berdoa:
Allahumma Ath’amta wa Asqaita wa Aqnaita wa Ahyaita falillahil hamdu ala ma
A’thaita yang artinya, “Ya Allah engkaulah yang memberi makan memberi minum,
memberi berbagai barang kebutuhan, memberi petunjuk dan menghidupkan. Maka hanya
untukmu segala puji atas segala yang kau beri.” (HR Ahmad 4/62, 5/375 al-Albani
mengatakan sanad hadits ini shahih. Lihat silsilah shahihah, 1/111)
Hadits ini
menunjukkan bahwa ketika kita hendak makan cukup mengucap bismillah saja tanpa
arrahman dan arrahim dan demikianlah yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana
tertera tegas dalam hadits di atas. Di samping bacaan-bacaan tahmid di atas,
sebenarnya masih terdapat bacaan-bacaan yang lain. Dan yang paling baik dalam
hal ini adalah berganti-ganti, terkadang dengan bentuk bacaan tahmid yang ini
dan terkadang dalam bentuk bacaan tahmid yang lain. Dengan demikian kita bisa
menghafal semua bacaan doa yang Nabi ajarkan serta mendapatkan keberkahan dari
semua bacaan-bacaan tersebut. Di samping itu kita bisa meresapi makna-makna
yang terkandung dalam masing-masing bacaan tahmid karena kita sering
berganti-ganti bacaan. Jika kita membiasakan melakukan perkara tertentu seperti
membaca bacaan zikir tertentu, maka jika ini berlangsung terus menerus kita
kesulitan untuk meresapi makna-makna yang kita baca, karena seakan-akan sudah
menjadi suatu hal yang refleks dan otomatis
b.
Kedua, makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak
menggunakan tangan kiri
Dari Jabir bin
Aabdillah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena syaitan itu juga makan dengan
tangan kiri.” (HR Muslim no. 2019) dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian
hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila
hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya
syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan
kirinya.” (HR Muslim no. 2020) Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “karena tangan kiri
digunakan untuk cebok dan memegang hal-hal yang najis dan tangan kanan untuk
makan maka tidak sepantasnya salah satu tangan tersebut digunakan untuk
melakukan pekerjaan tangan yang lain.” (Kasyful Musykil, hal 2/594)
Meskipun
hadits-hadits tentang hal ini sangatlah terkenal dan bisa kita katakan orang
awam pun mengetahuinya, akan tetapi sangat disayangkan masih ada sebagian kaum
muslimin yang bersih kukuh untuk tetap makan dan minum dengan menggunakan
tangan kiri. Apabila ada yang mengingatkan, maka dengan ringannya menjawab
karena sudah terlanjur jadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Tidak
disangsikan lagi bahwa prinsip seperti ini merupakan tipuan syaitan agar
manusia jauh dari mengikuti aturan Allah yang Maha Penyayang. Lebih parah lagi
jika makan dan minum dengan tangan kiri ini disebabkan faktor kesombongan.
Dari Salamah
bin Akwa radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita bahwa ada seorang yang makan
dengan menggunakan tangan kiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Melihat hal tersebut Nabi bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.”
“Aku tidak bisa makan dengan tangan kanan,” sahut orang tersebut. Nabi lantas
bersabda, “Engkau memang tidak biasa menggunakan tangan kananmu.” Tidak ada
yang menghalangi orang tersebut untuk menuruti perintah Nabi kecuali
kesombongan. Oleh karena itu orang tersebut tidak bisa lagi mengangkat tangan
kanannya ke mulutnya.” (HR Muslim no. 2021)
Dalam riwayat
Ahmad no. 16064 dinyatakan, “Maka tangan kanan orang tersebut tidak lagi bisa
sampai ke mulutnya sejak saat itu.” Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan bahwa kita diperbolehkan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang
yang tidak melaksanakan aturan syariat tanpa aturan yang bisa dibenarkan.
Hadits di atas juga menunjukkan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar itu
dilakukan dalam segala keadaan. Sampai-sampai meskipun sedang makan. Di samping
itu hadits di atas juga menunjukkan adanya anjuran mengajari adab makan
terhadap orang yang tidak melaksanakannya (Syarah shahih Muslim, 14/161)
Meskipun
demikian jika memang terdapat alasan yang bisa dibenarkan yang menyebabkan
seseorang tidak bisa menikmati makanan dengan tangan kanannya karena suatu
penyakit atau sebab lain, maka diperbolehkan makan dengan menggunakan tangan
kiri. Dalilnya firman Allah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
c.
Ketiga, memakan makanan yang berada di dekat kita
Umar bin Abi
Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi
bersabda, “Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)
Hikmah dari
larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang lain, adalah perbuatan
kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa jijik dengan perbuatan itu.
Anas bin Malik
meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk menikmati makanan yang ia buat. Aku ikut pergi menemani Nabi.
Orang tersebut menyuguhkan roti yang terbuat dari gandum kasar dan kuah yang
mengandung labu dan dendeng. Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
selalu mengambil labu yang berada di pinggir nampan.” (HR. Bukhari, no. 5436,
dan Muslim no. 2041)
Kalau lihat
hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang berada di dekat
beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk kompromi dua hadits
tersebut, Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhiid Jilid I halaman 277, mengatakan,
“Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau beberapa macam lauk, atau jenis
makanan yang lain, maka diperbolehkan untuk mengambil makanan yang tidak berada
di dekat kita. Apabila hal tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang
dikehendaki. Sedangkan maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu”
adalah karena makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan
para ulama”
Artikel www.muslim.or.id
HADIST MASUK DAN KELUAR KAMAR MANDI
1.
Masuk dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan
Tidak ada dalil
yang khusus dari Rasulullah Shallallahuálahi wassalam mengenai keharusan
mendahulukan kaki kanan dan mengakhirkan kaki kiri. Syaikh Al-Albani
mengemukakan pendapatnya di kitab Irwaul Ghalil 1/132, "Sedangkan masuk
kamar mandi maka aku tidak mengetahui dalil khususnya sekarang ini, mungkin itu
bias diambil dari qiyas terhadap "hadits keluar dari masjid", Allahu
A'lam".
Namun dalam hal
ini landasan dalilnya adalah secara qiyasi yang diambil dari keumuman tiga
hadist berikut:
Hadits pertama yaitu:
حَدّثَنَا أَبُو
تَوْبَةَ الرَبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدّثَنِي عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ أَبِي
عَرُوبَةَ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَتْ
يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيُمْنَى لِطُهُورِهِ وَطَعَامِهِ،
وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلاَئِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى»
Abu Dawud
berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Taubah ar-Rabi'bin Nafi', (Dia – Abu
Taubah ar-Rabi'bin Nafi' berkata), 'Telah mengabarkan kepadaku Isa bin Yunus,
dari Abu Arubah dari Abu Ma'syarin (nama kunyah dari Ziyad bin Kulaib), Dari
Ibrahim dari Aisyah radhiallahuánha', dia (Aisyah) berkata: "Tangan kanan
Rasulullah Shallallahuálaihi wassalam adalah dipergunakan untuk bersuci dan
memakan makanan, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk beristinja/cebok dan
membersihkan kotoran." Hadits
Shohih (HR. HR. Abu Dawud no. 33 dan Ahmad VI/265 no.
26283. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam kitab Irwaul Ghalil I/131)
Imam al-Mudziri
berkata, "Ibrahim (bin Yazid bin Qais) tidak mendengar dari Aisyah maka
jalur periwayatannya adalah terputus, dan hadits ini juga dikeluarkan oleh
Al-Aswad (bin Yazid bin Qais) dari Aisyah dengan makna yang sama dan
dikeluarkan pula dalam kitab Al-Libas dari hadits Masruq dari Aisyah. Dan
dengan jalur yang sama juga dikeluarkan oleh Imam al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi,
an-Nasai dan Ibnu Majah"' (Lihat Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud I/55
cet. Darus Salam Lin Nashr wa Tauzi' th. 1430 H)
Hadits kedua yaitu:
حَدّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ
يُحِـّبُ الـّتَـيَمّـُنَ مَا اسْتَطَاعَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ، فِي طُهُورِهِ وَتَرَجّـُلِهِ
وَتَنَعّـُلِهِ»
(Imam
al-Bukhori berkata (dia)), "Telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin
Harb, dia (Sulaiman bin Harb) berkata, 'Telah mengabarkan kepada kami Syu'bah
(bin al-Hajjaj bin al-Warad) dari al-Asy'Ats bin Sulaim dari Bapaknya (Sulaim
bin Aswad dari Masyruq (bin al-Ajda') dari Aisyah radhiallahu'anha, dia (Aisyah
radhiallahu'anha) berkata, "Nabi Shollallahu'alaihi wassalam suka
mendahulukan yang kanan dalam setiap perbuatannya, seperti dalam bersuci,
menaiki kendaraan, dan memakai sandal. " Hadits Shohih (HR. Al-Bukhori no. 426. Dalam lafazh yang
lainnya no. 5380 ada tambahan :
فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
"Di setiap
urusannya." Hadits Shohih (Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di
Shohihnya no. 268 (67), Abu Dawud no. 4140, at-Tirmidzi no. 608, an-Nasa'i no.
421, Ibnu Majah no. 401)
(فائدة) : قال الشيخ تقى الدين (يعنى ابن دقيق
العيد) : " هذا الحديث عام مخصوص لأن دخول الخلاء والخروج من المسجد ونحوهما يبدأ
فيهما باليسار " نقله الحافظ فى " الفتح " (1/216) وأقره.
Faidah – Asy-Syaikh Taqiyuddin (yaitu Imam Ibnu
Daqiqil 'Ied) berkata: "hadits ini adalah hadits yang umum namun dapat
dikhususkan karena masuk kamar mandi dan keluar dari masjid atau yang semisal
keduanya dilakukan dengan kaki kiri. 'Al-Hafizh juga menukilkan pendapat
tersebut di kitabnya Fathul Bari 1/216 dan beliau mengakuinya. (Lihat Irwau-ul
Ghalil 1/131)
Hadits ketiga yaitu:
حَدّثَنَا أَبُو
حَفْصٍ عُمَرُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمُفِيدُ الْبَصْرِيّ، ثنا أَبُو خَلِيفَةَ الْقَاضِي،
ثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطّيَالِسِـُيّ، ثنا شَدّادٌ أَبُو طَلْحَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ
مُعَاوِيَةَ بْنَ قُرّةَ، يُحَدِّثُ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّهُ كَانَ، يَقُولُ:
«مِنَ السّـُنّـَةِ إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى،
وَإِذَا خَرَجْتَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى»
(Imam Al-Hakim
berkata), "Telah mengabarkan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Jafar al-Mufid
al-Bashry, (Abu Hafsh berkata) 'Telah mengabarkan kepada kami Abu Khalifah
al-Qadhy, (Abu Khalifah berkata), 'Telah mengabarkan kepada kami Abu Walid
ath-Thayalisi, (Abu Walid berkata), 'Telah mengabarkan kepada kami Syadad Abu
Tholhah, (Abu Tholhah berkata), 'Aku telah mendengar Mu'awiyah bin Qurrah
mengabarkan dari Anas bin Malik radhiallahuanhu, bahwa beliau mengatakan
"Termasuk amalan sunnah apabila engkau hendak masuk masjid maka mulailah
dengan kaki kanan dan apabila meninggalkan masjid maka mulailah dengan kaki
kiri" Hadits Shohih (HR. Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak I/218
no. 791 dan al-Baihaqy II/442 – hadits Shohih telah disepakati oleh Imam
adz-Dzahabi, Dishohihkan pula oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ahaadits
ash-Shohihah no. 2478)
2. Doa ketika masuk kamar mandi
a.
Membaca
BISMILLAH sebelum masuk kamar mandi, dalilnya adalah:
حَدّثَنَا مُحَمّدُ
بْنُ حُمَيْدٍ الرّازِيّ قَالَ: حَدّثَنَا الحَكَمُ بْنُ بَشِيرِ بْنِ سَلْمَانَ قَالَ:
حَدّثَنَا خَلّادٌ الصّفَّارُ، عَنْ الحَكَمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ النّصْرِيِّ، عَنْ
أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: " سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ
وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الخَلَاءَ، أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ
اللَّهِ
"
(Imam
at-Tirmidzi berkata), "Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Humaid
ar-Razi, Dia (– Muhammad bin Humaid ar-Razi) berkata, 'Telah mengabarkan kepada
kami al-Hakam bin Basyir bin Salman, Dia(- al-Hakam) berkata, 'Telah
menceritakan kepada kami Khallaad as-Shoffaar (bin Isa) dari Al-Hakam bin
Abdullah an-Nashriy dari Abu Ishaq dari Abu Juhaifah dari Ali bin Abi Tholib
radhiallahu'anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu'alahi wassalam bersabda:
"Penghalang antara pandangan mata jin dan aurat Bani Adam adalah ketika
ada seorang diantara mereka yang masuk kamar mandi maka hendaknya mengucapkan :
"BISMILLAH" Hadits
Shohih (HR. at-Tirmidzi no. 606 dan
Ibnu Majah no. 297, Hadits ini Shohih sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Irwaul Gholil no. 50)
Imam at-Tirmidzi berkata:
«هَذَا حَدِيثٌ
غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَإِسْنَادُهُ لَيْسَ بِذَاكَ القَوِيِّ،
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَشْيَاءُ
فِي هَذَا»
"Ini
adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini dan
sanadnya juga tidak kuat. Telah diriwayatkan dari Shahabat Anas bin Malik
radhiallah'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wassalam beberapa hadits yang
berkaitan dengan masalah ini."
Syaikh Albani
berkata dalam Irwaul Ghalil hadits no. 50: "Hadits ini diriwayatkan oleh
beberapa sahahabat yaitu Ali bin Abi Tholib, Anas, Abu Sa'id al-Khudri, Ibnu
Mas'ud dan Muawiyah bin Haidah. Dan di akhir pembahasan hadits ini Syaikh
Al-Albani mengatakn dengan berbagai jalan yang telah disebutkan ini maka hadits
ini menjadi shohih walaupun ada perawi-perawi yang dhoif ." Hadits ini
tidak ada di dalam Musnad Imam Ahmad sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam
As-Suyuthi dimana beliau menyandarkan hadits ini ada di Musnad Imam
Ahmad."
b.
Membaca
Doa Masuk Kamar Mandi / WC :
حَدّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ العَزِيزِ بْنِ
صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا، يَقُولُ: كَانَ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلاَءَ قَالَ:
«الَلّهُـّمَ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ
وَالخَبَائِثِ»
(Imam
al-Bukhori berkata) "Telah menceritakan kepada kami Adam (bin Abu Iyas),
Dia (Adam) berkata: 'Telah menceritakan kepada kami Syu'bah (bin Al-Hajjaj bin
Al-Warad) dari Abdul Aziz bin Shuhaib, dia (Abdul Aziz bin Shuhaib) berkata:
"Aku pernah mendengar Anas (radhiallahu'anhu) berkata, "Rasulullah
Shallallahu'alaihi wassalam apabila hendak masuk kamar mandi maka beliau
berdoa:
"Allahumma
inni A'udzubika minal Hubutsi wal Khobaits" (Ya Allah aku berlindung
kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan setan perempuan). (Muttafaqun 'Alaihi
-disepakati Imam al-Bukhori dan Muslim)
Hadits Shohih
(HR. Al-Bukhori no 142 dan Muslim no. 375 (122) )
Diriwayat pula
oleh Muslim lafazhnya memakai lafazh Al-Khubsi – الْخُبْثِ Sedangkan riwayat dari Imam al-Bukhori dan
lainnya memakai kata الْخُبُثِ huruf "BA" di dhomahkan bukan disukunkan, sehingga
boleh keduanya dipakai. (Lihat Syarah Shohih Muslim oleh Imam an-Nawawi IV/71)
2.
Doa
ketika keluar kamar mandi
Berdasarkan hadits:
حَدّثَنَا عَمْرُو
بْنُ مُحَمَّدٍ النّاقِدُ، حَدّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدّثَنَا إِسْرَائِيلُ،
عَنْ يُوسُفَ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، حَدّثَتْنِي عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، أَنَّ النّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الغَائِطِ
قَالَ:
«غُفْرَانَكَ»
(Imam Abu Dawud
berkata), "Telah menceritakan kepada kami Amr bin Muhammad An-Naqidh, dia
(Amr bin Muhammad an-Naqidh) berkata, 'Telah mengabarkan kepada kami Hasyim bin
al-Qasim, dia (Hasyim bin al-Qasim) berkata, 'Telah menceritakan kepada kami
Israil (bin Yunus bin Abi Ishaq) dari Yusuf bin Abu Burdah dari Bapaknya, (Abu
Burdah berkata) telah menceritakan kepadaku Aisyah radhiallahuánha, Bahwa
Rasulullah Shallallahuálaihi wassalam apabila keluar dari kamar mandi/WC beliau
mengucapkan:
"GUFRONAKA"
(Aku memohon ampunan-Mu). (Hadits dikeluarkan oleh Empat Imam Penulis Sunan
kecuali an-Nasa-i)
Hadits Shohih (HR. Abu Dawud no. 30, at-Tirmidzi no. 7,
Ibnu Majah no. 300, Al-Hakim 1/158, al-Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 693,
Ahmad 6/155, Hadits ini shohih sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam kitabnya Irwaul Ghalil no. 52)
Meminta ampun
dengan menyebutkan GUFRONAKA mempunyai dua kemungkinan makna.
Makna yang
pertama adalah bahwa Rasulullah Shallalallahuálahi wassalam memohon ampun dari
meninggalkan dzikir kepada Allah pada saat di dalam kamar mandi/wc.
Kedua yaitu
bahwa Nabi Shallallahuálaihi wassalam memohon ampunan ketika merasa lemah untuk
bersyukur kepada Allah atas nikmat dan kemudahan dalam mendapatkan makanan dan
mendapatkan manfaat dari yang dimakan dan keluarnya sisa-sisa pencernaan dengan
mudah maka sebagai kompensasi dari kelemahan untuk bersyukur itu adalah dengan
permohonan ampunan. (Lihat Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud 1/33-34 cet.
Darul Kutub al-Ilmiyyah)
Kejadian
manusia masuk kamar mandi dalam sehari semalam merupakan kebiasaan yang terjadi
berulang kali dan setiap kali keluar masuk dari kamar mandi dengan menerapkan
sunnah-sunnah tersebut maka ia telah melaksanakan dua sunnah Rasul
Shallallahuálaihi wassalam ketika masuk (mendahulukan kaki kiri dan berdoa
ketika masuk) dan dua sunnah Rasul Shallallahuálaihi wassalam ketika keluar
(mendahulukan kaki kanan dan berdoa ketika keluar).
Makna dari ُاَلْـخُبُثُ وَ الْـخَبَائِث adalah syaitan dari jenis laki-laki dan
perempuan. Berlindunglah kepada Allah dari kejahatan mereka karena sesungguhnya
kamar mandi adalah tempat tinggal mereka.
Sumber :
1.
Shohih
al-Bukhori dan Shohih Muslim cet. Daar al-Ma'rifah.
2.
Sunan
At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Abu Dawud cet. Maktabah al-Ma'arif.
3.
Musnad
Imam Ahmad cet. Baitul Afkar Dauliyah.
4.
Irwaul
Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manaris Sabiil oleh Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin
al-Albani cet. Al-Maktab al-Islamy th. 1405 H.
5.
Silsilah
Ahaadits ashShohihah oleh Syaikh Muhammad Nashirrudin al-Albani cet. Maktabah
al-Ma'arif.
6.
Aunul
Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud oleh Syaikh Abu Abdirrahman Syaraful Haq
Ash-Shidiqy al-Adzim Aabady cet. Darus Salam Lin Nashr wa Tauzi' th. 1430 H
7.
dan
cet. Darul Kutub Ilmiyyah .
8.
Kitab
Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah,dengan berbagai tambahan dan
takrij hadits oleh admin, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam
Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rakhmawan, Cet.
Pustaka Imam as-Syafii Jakarta.
9.
Belajarhadist.com
HADIST MENDENGAR PETIR
Apabila
Abdullah bin Az-Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian
mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ
خِيْفَتِهِ
Subhaanalladzi
yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi
“Maha Suci
Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat,
karena takut kepadaNya”[1]
Doa yang lain,
dari ‘Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tatkala
mendengar suara petir, beliau mengucapkan,
سُبْحَانَالَّذِيسَبَّحَتْلَهُ
‘Subhanalladzi
sabbahat lahu’
“ Maha suci Allah yang petir
bertasbih kepada-Nya”
Lalu beliau mengatakan,
قال إن الرعد ملك ينعق بالغيث كما ينعق الراعي بغنمه
”Sesungguhnya
petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan
sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya.”[2]
Perlu diketahui
bahwa tidak ada doa yang marfu’ (bersumber langsung sanadnya) dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ada adalah atsar dari sahabat, dalam fatwa
Al-lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi) dijelaskan,
من عمل بهذا اقتداءً بهذا الصحابي فلا بأس بذلك، ولا نعلم شيئاً ثابتاً
فيه مرفوعاً إلى النبي صلى الله عليه وسلم
“barangsiapa
yang mengamalkan dengan mencontoh para Sahabat, maka tidak mengapa. Kami tidak
mengetahui sedikitpun hadits yang marfu’ (sampai sanadnya) kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.”[3]
Artikel www.muslim.or.id
https://muslim.or.id/18975-doa-ketika-mendengar-petir.html
HADIST NAIK KENDARAAN
Pada masa silam, manusia bepergian
dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain dengan membawa barang
atau perbekalan di atas punggungnya. Sebagian yang lain bepergian dengan
menunggang hewan tunggangan sambil membawa berbagai muatan, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ
إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلا بِشِقِّ الأنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ (٧)وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ
مَا لا تَعْلَمُونَ
“Dan ia (hewan ternak) mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang
kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Rabbmu
Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan
keledai untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa
yang tidak kamu ketahui.” (QS. An-Nahl: 7-8)
Adapun di masa
sekarang, begitu mudahnya seseorang untuk bepergian dari satu tempat ke tempat
yang lain dalam waktu cepat tanpa banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran,
walaupun terkadang tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.
Kendaraan
merupakan salah satu nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia. Hal
ini juga sebagai bukti curahan kasih sayang Allah Ta’ala kepada para
makhluk-Nya. Hal ini karena segala nikmat yang kita terima atau musibah yang
kita terhindar darinya merupakan tanda kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita.
Allah Ta’ala berfirman
وَآيَةٌ لَهُمْ
أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ (٤١)وَخَلَقْنَا لَهُمْ
مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ (٤٢)
“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah Kami angkut
keturunan mereka dalam perahu yang penuh muatan, dan Kami ciptakan bagi mereka
(angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai.” (QS. Yasin: 41-42)
Allah Ta’ala berfirman
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى
ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
“Dan kami angkut Nuh ke atas (perahu) yang terbuat dari papan dan
paku.” (QS. Al Qomar: 13)
Dalam ayat ini
Allah Ta’ala tidak langsung menyebut “perahu”, namun menyebutnya sebagai
“sesuatu yang terbuat dari papan dan paku”. Hal ini mengisyaratkan adanya
pengajaran dari Allah Ta’ala kepada manusia tentang bahan baku pembuatan
perahu. Seakan-akan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perahu Nabi Nuh ‘alaihissalam
terbuat dari papan dan paku agar menjadi contoh bagi manusia untuk membuatnya.
Allah Ta’ala
menisbatkan pembuatan perahu kepada diri-Nya seperti dalam ayat (yang artinya),
“Kami ciptakan untuk manusia semisal (perahu Nuh ‘alaihis salam) …”. Padahal
perahu tersebut dibuat oleh manusia (Nabi Nuh ‘alaihis salam), bukan diciptakan
oleh Allah Ta’ala sebagaimana Dia menciptakan unta yang kita tunggangi, kuda,
dan yang serupa dengannya. Hal ini dikarenakan Allah-lah yang mengajari manusia
tata cara membuat perahu.
1. Berdoa ketika naik kendaraan
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdoa
(سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا
وَمَا كُنَّا لَـهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ) اَلْحَمْدُ
لِلََّهِ اَلْحَمْدُ لِله اَلْحَمْدُ لِلََّهِ اَلْحَمْدُ لِله ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ
أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ ، سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ
لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah yang
menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (pada hari kiamat).
Segala puji bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah!
Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada
yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Doa ini mengandung
sanjungan kepada Allah Ta’ala yang telah menjadikan kendaraan tersebut dapat
dikendarai, padahal sebelumnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk
mengendarainya. Di dalam doa ini juga terkandung pengakuan bahwasanya kita akan
kembali kepada Allah pada hari kiamat, serta pengakuan atas kelalaian dan dosa
yang telah kita lakukan.
2. Bertakbir dan bertasbih selama
perjalanan
Jabir
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bertakbir ketika melewati jalan yang naik,
dan bertasbih ketika melewati jalan yang turun”. (HR. Al-Bukhari) Maksudnya
adalah ketika menaiki tempat-tempat yang tinggi mengucapkan: “Allahu Akbar”,
dan ketika menuruni tempat-tempat yang lebih rendah mengucapkan: “Subhanallah”.
Bertakbir manakala menaiki tempat yang tinggi akan membuat kita merasakan
kebesaran Allah Ta’ala serta keagungan-Nya. Sedangkan bertasbih ketika menuruni
tempat yang rendah akan membuat kita merasakan kesucian Allah Ta’ala dari
segala kekurangan.
3. Berdoa ketika kendaraan
tergelincir
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengumpat setan ketika tergelincir
dan mengajarkan kita untuk mengucapkan, “bismillah”. Usamah bin ‘Umair
radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas tunggangannya tergelincir, maka aku berkata, ‘tergelincirlah
setan.’ Maka Nabi berkata, ‘Janganlah kamu katakan tergelincirlah setan. Jika
kamu berkata demikian, dia (setan) akan membesar hingga sebesar rumah, dan
berkata, ‘Dengan kekuatanku.’ Akan tetapi katakanlah, ‘bismillah’. Jika kamu
berkata demikian, dia akan mengecil hingga sekecil lalat.’” (HR. Abu Dawud)
Menyebut nama Allah Ta’ala akan meleburkan setan sebagaimana air meleburkan
garam.
4. Membebani kendaraan sesuai daya
angkut
Di antara adab
berkendaraan adalah dibolehkannya berkendaraan dengan beberapa penumpang selama
tidak melebihi daya angkut kendaraan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah memboncengkan sebagian sahabatnya seperti Mu’adz, Usamah,
Al-Fudhail, begitu juga memboncengkan ‘Abdullah bin Ja’far dan Hasan atau
Husain bersama-sama, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua.
Membebani
kendaraan melebihi daya angkut yang telah ditetapkan merupakan suatu bentuk
kedzaliman. Hal ini akan menyebabkan rusaknya kendaraan dan ini merupakan
bentuk penyia-nyiaan harta.
5. Tidak menjadikan kendaraan
semata-mata sebagai tempat duduk
Terdapat hadits
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian menjadikan
punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar (semata-mata sebagai
tempat duduk). Sesungguhnya Allah menundukkannya untuk kalian supaya
mengantarkan ke negeri yang belum pernah kalian capai kecuali dengan bersusah
payah. Dan Allah menciptakan bumi untuk kalian, maka hendaklah kalian tunaikan
kebutuhan kalian di atas tanah”. (HR. Abu Dawud)
Maksud dari hadits ini adalah
larangan untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang dalam rangka jual beli atau
yang selainnya di atas kendaraan (berupa hewan) yang sedang berhenti. Hendaknya
seseorang menunaikan keperluannya dengan cara turun dari kendaraan dan
mengikatnya di tempat yang semestinya.
Adapun
berdirinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan tunggangan beliau
saat Haji Wada’ adalah demi kemaslahatan yang besar. Hal ini supaya khutbah
beliau kepada para manusia mengenai perkara-perkara Islam serta hukum-hukum
yang terkait ibadah dapat didengar dengan jelas oleh sahabat-sahabat beliau
ketika itu. Apalagi, perbuatan beliau tersebut juga tidak dilakukan secara
terus-menerus sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,
sehingga hal ini tidak membuat hewan tunggangan merasa letih dan bosan. Berbeda
dengan sekedar duduk-duduk dan berbincang-bincang di atas hewan tunggangan yang
sedang berhenti tanpa ada maslahat, dalam waktu lama, dan dilakukan
berulang-ulang maka dapat menyebabkan hewan tunggangan merasa letih dan bosan.
Kendaraan pada
zaman ini tidak bisa disamakan dengan hewan tunggangan yang dapat merasa letih
dan bosan. Meskipun demikian, tidak selayaknya seorang pengendara duduk-duduk
dan berbincang-bincang di atas kendaraannya yang sedang berhenti karena akan
mengganggu serta menyusahkan pengguna jalan yang lain. Berhenti di sembarang
tempat juga akan mempersempit jalan yang seharusnya dapat dipergunakan oleh
pengguna jalan yang lain. Allah Ta’ala berfirman
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا
وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan
dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
6. Memandang kendaraan yang lebih
rendah
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada umatnya bagaimana cara
memperkuat rasa syukur atas berbagai nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan,
yaitu dengan selalu memandang orang-orang yang berada di bawahnya dalam akal,
nasab (keturunan), harta, dan berbagai nikmat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى
مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ
أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat
orang yang di atas kalian. Itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang
hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Demikianlah
paparan ringkas yang dapat kami tuliskan. Semoga kita dapat mengambil
keteladanan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diterapkan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan.
Referensi:
Tafsir Al-Quran
Al-Karim Surat Yasin hal 150-155, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar
Ats-Tsurayya.
Bahjah Qulub
Al-Abrar hal 66, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah.
Kitab Al-Adab
hal 301-304, Fuad bin ‘Abdil ‘Aziz Asy Syalhubi, Dar Al-Qosam.
Syarh Kitab
Al-Qawa’id Al-Arba’ hal 22-23, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Dar As-Salafiyyah.
Syarh Hishnul
Muslim hal 292, 298, 301, Majdi bin ‘Abdil Wahhab Ahmad, Muassasah Al-Jaraysi
Littauzi’ wal-I’lan.
HADIST MASUK MESJID
Sebagai rumah
dari rumah-rumah Allah Ta’ala yang mempunyai peranan vital, ada beberapa etika
yang telah digariskan oleh Islam ketika berada di dalamnya. Antara lain :
1. Mengikhlaskan Niat Kepada Allah
Ta’ala
Hendaknya
seseorang yang ingin ke masjid mengikhlaskan niatnya sehingga Allah Ta’ala
menerima ibadah yang ia lakukan di masjid. Hendaknya ia mendatangi masjid untuk
menunaikan tugas seorang hamba yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa
dilandasi rasa ingin dipuji manusia atau ingin dilihat oleh masyarakat. Karena
sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya.
2. Berpakaian Indah Ketika Hendak
Menuju Masjid
Sebagaimana perintah Allah Ta’ala
dalam firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ
خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki)
masjid” [4]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “dalam ayat ini, Allah tidak hanya
memerintahkan hambanya untuk menutup aurat, akan tetapi mereka diperintahkan
pula untuk memakai perhiasan. Oleh karena itu hendaklah mereka memakai pakaian
yang paling bagus ketika shalat” [5]
Dan dijelaskan
dalam kitab tafsir karangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “berlandaskan ayat
ini dan ayat yang semisalnya disunahkan berhias ketika akan shalat, lebih-lebih
ketika hari Jumat dan hari raya. Termasuk perhiasan yaitu siwak dan parfum” .[6]
3. Menghindari Makanan Tidak Sedap
Baunya
Maksudnya
adalah larangan bagi seseorang yang makan makanan yang tidak sedap baunya,
seperti mengonsumsi makanan yang menyebabkan mulut berbau, seperti bawang
putih, bawang merah, jengkol, pete, dan termasuk juga merokok atau yang lainnya
untuk menghadiri shalat jamaah, berdasarkan hadis,
Dari Jabir
radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Barang siapa yang memakan dari tanaman ini (sejenis bawang dan semisalnya),
maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena sesungguhnya malaikat terganggu
dengan bau tersebut, sebagaimana manusia”.
Juga hadis
Jabir, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا
أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ
فيِ بَيْتِهِ
“Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka
hendaklah menjauhi kita”, atau bersabda, “Maka hendaklah dia menjauhi masjid
kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”.[7]
Hadis tersebut
bisa dibawa ke persamaan kepada segala sesuatu yang berbau tidak sedap yang
bisa menganggu orang yang sedang shalat atau yang sedang beribadah lainnya.
Namun jika seseorang sebelum ke masjid memakai sesuatu yang bisa mencegah bau
yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya,
maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri masjid.
4. Bersegera Menuju Rumah Allah
Ta’ala
Bersegera
menuju masjid merupakan salah satu ciri dari semangat seorang muslim untuk
melakukan ibadah. Jika waktu shalat telah tiba, hendaklah kita bersegera menuju
masjid karena di dalamnya terdapat ganjaran yang amat besar, berdasarkan hadis:
Dari Abu
Hurairah radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda, “Seandainya manusia mengetahui keutamaan shaf pertama, dan tidaklah
mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi niscaya mereka akan berundi.
Dan seandainya mereka mengetahui keutamaan bersegera menuju masjid niscaya
mereka akan berlomba-lomba”.[8]
5. Berjalan Menuju Masjid Dengan
Tenang dan Sopan
Hendaknya
berjalan menuju shalat dengan khusyuk, tenang, dan tentram. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam melarang umatnya berjalan menuju shalat secara
tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan. Abu Qatadah radhiallahu’anhu
berkata, “Saat kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan
shalat beliau mengingatkan,
مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ
الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ
بِاالسَّكِيْنَةِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab, “Kami tergesa-gesa
menuju shalat.” Rasulullah menegur mereka, “Janganlah kalian lakukan hal itu.
Apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah berjalan dengan tenang, dan
rakaat yang kalian dapatkan shalatlah dan rakaat yang terlewat sempurnakanlah”[9]
6. Adab Bagi Wanita [10]
Tidak terlarang
bagi seorang wanita untuk pergi ke masjid. Namun rumah-rumah mereka lebih baik
Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu
diperhatikan:
1.
Meminta
izin kepada suami atau mahramnya
2.
Tidak
menimbulkan fitnah
3.
Menutup
aurat secara lengkap
4.
Tidak
berhias dan memakai parfum
Perbuatan kaum
wanita yang memakai parfum hingga tercium baunya dapat menimbulkan fitnah,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa saja wanita
yang memakai wangi-wangian kemudian keluiar menuju masjid, maka tidak akan
diterima shalatnya sehingga ia mandi” [11]
Abu Musa radhiallahu’anhu
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى
زَانِيَةً
“Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi
lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini,
begini, yaitu seorang wanita pezina”.[12]
7. Ketika Masuk Masjid Berdoa dan
Mendahulukan Kaki Kanan
Hendaklah orang yang keluar dari
rumahnya membaca doa,
بِسْمِ اللَّهِ
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
“Dengan menyebut nama Allah aku bertawakal kepada-Nya, tidak ada
daya dan upaya selain dari Allah semata”.[13]
Kemudian ketika berjalan menuju
masjid hendaklah berdoa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ
فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا
وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي
نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
“Yaa Allah… berilah cahaya di hatiku, di penglihatanku dan di
pendengaranku, berilah cahaya di sisi kananku dan di sisi kiriku, berilah
cahaya di atasku, di bawahku, di depanku dan di belakangku, Yaa Allah berilah
aku cahaya”[12].
8. Shalat Tahiyatul Masjid
Di antara adab
ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk.
Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat tahiyatul masjid. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia
shalat dua rakaat sebelum dia duduk” [13]
9.Larangan Keluar Setelah Adzan
Kecuali Ada Alasan
Jika kita
berada di dalam masjid dan azan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari
masjid sampai selesai dtunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada uzur. Hal ini
sebagaimana dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa
radhiallahu’anhu, beliau berkata,
كُنَّا قُعُودًا
فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ
الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ
فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid.
Kemudian muazin mengumandangkan azan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri
kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau
berkata, “Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim
(Nabi Muhammad) Shallallahu’alaihi Wasallam” .[14]
10.Larangan melingkar di dalam
masjid untuk berkumpul untuk kepentingan dunia
Terdapat
larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepentingan dunia
semata. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ
زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ
“Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka
melingkar di dalam masjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai
kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka
maka janganlah duduk bersama mereka” .[15]
11. Keluar Masjid Dengan
Mendahulukan Kaki Kiri Dan Membaca Doa
Apabila keluar masjid, hendaklah
kita mendahulukan kaki kiri seraya berdoa. Dari Abu Humaid radhiallahu’anhu
atau dari Abu Usaid radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ
فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya
dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah pintu-pintu
rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni
as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu)”
Referensi
https://muslim.or.id/19262-adab-adab-ketika-di-masjid.htmla
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Imam Ibnu Katsir
Kitab-Kitab Karangan Syaikh Nashiruddin Al-Albani Seperti Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shohihah, Irwaul Gholil, Shohih Targhib Wat Tarhib
Fathul Baari Fi Syarhi Shohi Al-Bukhari Karya Imam Ibnu Hajar
Al-Asqolaani
Syarah Shahih Muslim Karya Imam Nawawi
Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid
Nada
Ahkaam Al-Masaajid Fi Syari’ah Al-Islamiyyah, Ibrahim Bin Sholih
Al-Hudhoiri
Al-muslim wal masjid karya Ahmad Muslim Da’dus
Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz karya Syaikh Dr.
‘Abdul ‘Adzim Badawi
“Adab shalat berjamaah di masjid” situs muslim.or.id
“Adab ketika di masjid” oleh Hepi Andi Bustoni, MA
Hisnul Muslim min Adzkari Al-Kitabi was Sunnah, Syeikh Sa’id bin
Ali Wahf Al-Qohthoni
https://muslim.or.id/19262-adab-adab-ketika-di-masjid.html
[1]
Al-Muwaththa’ 2/992. Al-Albani berkata: Hadits di atas mauquf
yang shahih sanadnya. Sumber : Kitab Hisnul Muslim Said bin Ali Al Qathanis
[4]
QS. AI-A’raf:
31
[6]
Tafsir Qur’an
Adzhim karangan Imam Ibnu Katsir ( 2/195)
[11]
HR.Ibnu Majah no 4002 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan
dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih Ibni Majah no. 3233
[12]
HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab
Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2019
[13]
HR. Tirmidzi no. 3426 dan Abu Dawud no. 5095. Dinilai shahih oleh
Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2375 dan Syeikh Al-Albani dalam Al-Misykah no.
2443
[14]
HR. Muslim no
655 dan dinilai shahih oleh Syeikh al-Albani dalam kitab shahih Ibni Maajah
no599