Senin, 29 Oktober 2018

HADIST MAKAN DAN MINUM, NAIK KENDARAAN, SAAT PETIR, MASUK MESJID DAN MASUK WC.


HADIST TENTANG MAKAN DAN MINUM

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ }
“Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)
Hadits di atas mengandung tiga adab makan:
a.      Pertama, membaca basmallah
Di antara sunnah Nabi adalah mengucapkan bismillah sebelum makan dan minum dan mengakhirinya dengan memuji Allah. Imam Ahmad mengatakan, “Jika dalam satu makanan terkumpul 4 (empat) hal, maka makanan tersebut adalah makanan yang sempurna. Empat hal tersebut adalah menyebut nama Allah saat mulai makan, memuji Allah di akhir makan, banyaknya orang yang turut makan dan berasal dari sumber yang halal.
Menyebut nama Allah sebelum makan berfungsi mencegah setan dari ikut berpartisipasi menikmati makanan tersebut. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Apabila kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak memulainya sehingga Nabi memulai makan. Suatu hari kami makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang gadis kecil seakan-akan anak tersebut terdorong untuk meletakkan tangannya dalam makanan yang sudah disediakan. Dengan segera Nabi memegang tangan anak tersebut. Tidak lama sesudah itu datanglah seorang Arab Badui. Dia datang seakan-akan di dorong oleh sesuatu. Nabi lantas memegang tangannya. Sesudah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syaitan turut menikmati makanan yang tidak disebut nama Allah padanya. Syaitan datang bersama anak gadis tersebut dengan maksud supaya bisa turut menikmati makanan yang ada karena gadis tersebut belum menyebut nama Allah sebelum makan. Oleh karena itu aku memegang tangan anak tersebut. Syaitan pun lantas datang bersama anak Badui tersebut supaya bisa turut menikmati makanan. Oleh karena itu, ku pegang tangan Arab Badui itu. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya tangan syaitan itu berada di tanganku bersama tangan anak gadis tersebut.” (HR Muslim no. 2017)
Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibnu Hajar al-Astqalani mengatakan, “Aku tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillahirramanirrahim ketika hendak makan itu lebih afdhal.” (Fathul Baari, 9/431)
Apabila kita baru teringat kalau belum mengucapkan bismillah sesudah kita memulai makan, maka hendaknya kita mengucapkan bacaan yang Nabi ajarkan sebagaimana dalam hadits berikut ini, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah satu kalian hendak makan, maka hendaklah menyebut nama Allah. Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal makan, maka hendaklah mengucapkan bismillahi awalahu wa akhirahu.” (HR Abu Dawud no. 3767 dan dishahihkan oleh al-Albani)
Apabila kita selesai makan dan minum lalu kita memuji nama Allah maka ternyata amal yang nampaknya sepele ini menjadi sebab kita mendapatkan ridha Allah. Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang menikmati makanan lalu memuji Allah sesudahnya atau meneguk minuman lalu memuji Allah sesudahnya.” (HR Muslim no. 2734)
Bentuk bacaan tahmid sesudah makan sangatlah banyak. Diantaranya adalah dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai makan mengucapkan:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَفَانَا وَأَرْوَانَا غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مَكْفُورٍ }
“segala puji milik Allah Dzat yang mencukupi kita dan menghilangkan dahaga kita, pujian yang tidak terbatas dan tanpa diingkari.”
Terkadang beliau juga mengucapkan:

{ الـحَمْدُ للـهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ، غَيْرَ [مَكْفِيٍّ ولا] مُوَدَّعٍ، ولا مُسْتَغْنَىً عَنْهُ رَبَّنَا }
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan penuh berkah meski bukanlah pujian yang mencukupi dan memadai, dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari).
Dari Abdurrahman bin Jubair dia mendapat cerita dari seorang yang melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama delapan tahun. Orang tersebut mengatakan, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan bismillah apabila makanan disuguhkan kepada beliau. Apabila selesai makan Nabi berdoa: Allahumma Ath’amta wa Asqaita wa Aqnaita wa Ahyaita falillahil hamdu ala ma A’thaita yang artinya, “Ya Allah engkaulah yang memberi makan memberi minum, memberi berbagai barang kebutuhan, memberi petunjuk dan menghidupkan. Maka hanya untukmu segala puji atas segala yang kau beri.” (HR Ahmad 4/62, 5/375 al-Albani mengatakan sanad hadits ini shahih. Lihat silsilah shahihah, 1/111)
Hadits ini menunjukkan bahwa ketika kita hendak makan cukup mengucap bismillah saja tanpa arrahman dan arrahim dan demikianlah yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana tertera tegas dalam hadits di atas. Di samping bacaan-bacaan tahmid di atas, sebenarnya masih terdapat bacaan-bacaan yang lain. Dan yang paling baik dalam hal ini adalah berganti-ganti, terkadang dengan bentuk bacaan tahmid yang ini dan terkadang dalam bentuk bacaan tahmid yang lain. Dengan demikian kita bisa menghafal semua bacaan doa yang Nabi ajarkan serta mendapatkan keberkahan dari semua bacaan-bacaan tersebut. Di samping itu kita bisa meresapi makna-makna yang terkandung dalam masing-masing bacaan tahmid karena kita sering berganti-ganti bacaan. Jika kita membiasakan melakukan perkara tertentu seperti membaca bacaan zikir tertentu, maka jika ini berlangsung terus menerus kita kesulitan untuk meresapi makna-makna yang kita baca, karena seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang refleks dan otomatis
b.      Kedua, makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri
Dari Jabir bin Aabdillah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena syaitan itu juga makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim no. 2019) dari Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya syaitan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan kirinya.” (HR Muslim no. 2020) Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “karena tangan kiri digunakan untuk cebok dan memegang hal-hal yang najis dan tangan kanan untuk makan maka tidak sepantasnya salah satu tangan tersebut digunakan untuk melakukan pekerjaan tangan yang lain.” (Kasyful Musykil, hal 2/594)
Meskipun hadits-hadits tentang hal ini sangatlah terkenal dan bisa kita katakan orang awam pun mengetahuinya, akan tetapi sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang bersih kukuh untuk tetap makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri. Apabila ada yang mengingatkan, maka dengan ringannya menjawab karena sudah terlanjur jadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Tidak disangsikan lagi bahwa prinsip seperti ini merupakan tipuan syaitan agar manusia jauh dari mengikuti aturan Allah yang Maha Penyayang. Lebih parah lagi jika makan dan minum dengan tangan kiri ini disebabkan faktor kesombongan.
Dari Salamah bin Akwa radhiyallahu ‘anhu beliau bercerita bahwa ada seorang yang makan dengan menggunakan tangan kiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat hal tersebut Nabi bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” “Aku tidak bisa makan dengan tangan kanan,” sahut orang tersebut. Nabi lantas bersabda, “Engkau memang tidak biasa menggunakan tangan kananmu.” Tidak ada yang menghalangi orang tersebut untuk menuruti perintah Nabi kecuali kesombongan. Oleh karena itu orang tersebut tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulutnya.” (HR Muslim no. 2021)
Dalam riwayat Ahmad no. 16064 dinyatakan, “Maka tangan kanan orang tersebut tidak lagi bisa sampai ke mulutnya sejak saat itu.” Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kita diperbolehkan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang yang tidak melaksanakan aturan syariat tanpa aturan yang bisa dibenarkan. Hadits di atas juga menunjukkan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar itu dilakukan dalam segala keadaan. Sampai-sampai meskipun sedang makan. Di samping itu hadits di atas juga menunjukkan adanya anjuran mengajari adab makan terhadap orang yang tidak melaksanakannya (Syarah shahih Muslim, 14/161)
Meskipun demikian jika memang terdapat alasan yang bisa dibenarkan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menikmati makanan dengan tangan kanannya karena suatu penyakit atau sebab lain, maka diperbolehkan makan dengan menggunakan tangan kiri. Dalilnya firman Allah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
c.       Ketiga, memakan makanan yang berada di dekat kita
Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi bersabda, “Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR. Muslim, no. 2022)
Hikmah dari larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang lain, adalah perbuatan kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa jijik dengan perbuatan itu.
Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikmati makanan yang ia buat. Aku ikut pergi menemani Nabi. Orang tersebut menyuguhkan roti yang terbuat dari gandum kasar dan kuah yang mengandung labu dan dendeng. Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil labu yang berada di pinggir nampan.” (HR. Bukhari, no. 5436, dan Muslim no. 2041)
Kalau lihat hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang berada di dekat beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk kompromi dua hadits tersebut, Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhiid Jilid I halaman 277, mengatakan, “Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau beberapa macam lauk, atau jenis makanan yang lain, maka diperbolehkan untuk mengambil makanan yang tidak berada di dekat kita. Apabila hal tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang dikehendaki. Sedangkan maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu” adalah karena makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan para ulama”
Artikel www.muslim.or.id

HADIST MASUK DAN KELUAR KAMAR MANDI
1.      Masuk dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan
Tidak ada dalil yang khusus dari Rasulullah Shallallahuálahi wassalam mengenai keharusan mendahulukan kaki kanan dan mengakhirkan kaki kiri. Syaikh Al-Albani mengemukakan pendapatnya di kitab Irwaul Ghalil 1/132, "Sedangkan masuk kamar mandi maka aku tidak mengetahui dalil khususnya sekarang ini, mungkin itu bias diambil dari qiyas terhadap "hadits keluar dari masjid", Allahu A'lam".
Namun dalam hal ini landasan dalilnya adalah secara qiyasi yang diambil dari keumuman tiga hadist berikut:
Hadits pertama  yaitu:
حَدّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدّثَنِي عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيُمْنَى لِطُهُورِهِ وَطَعَامِهِ، وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلاَئِهِ، وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى»
Abu Dawud berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Taubah ar-Rabi'bin Nafi', (Dia – Abu Taubah ar-Rabi'bin Nafi' berkata), 'Telah mengabarkan kepadaku Isa bin Yunus, dari Abu Arubah dari Abu Ma'syarin (nama kunyah dari Ziyad bin Kulaib), Dari Ibrahim dari Aisyah radhiallahuánha', dia (Aisyah) berkata: "Tangan kanan Rasulullah Shallallahuálaihi wassalam adalah dipergunakan untuk bersuci dan memakan makanan, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk beristinja/cebok dan membersihkan kotoran."  Hadits Shohih   (HR. HR. Abu Dawud no. 33 dan Ahmad VI/265 no. 26283. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam kitab Irwaul Ghalil I/131)
Imam al-Mudziri berkata, "Ibrahim (bin Yazid bin Qais) tidak mendengar dari Aisyah maka jalur periwayatannya adalah terputus, dan hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Aswad (bin Yazid bin Qais) dari Aisyah dengan makna yang sama dan dikeluarkan pula dalam kitab Al-Libas dari hadits Masruq dari Aisyah. Dan dengan jalur yang sama juga dikeluarkan oleh Imam al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah"' (Lihat Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud I/55 cet. Darus Salam Lin Nashr wa Tauzi' th. 1430 H)
Hadits kedua  yaitu:
حَدّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُحِـّبُ الـّتَـيَمّـُنَ مَا اسْتَطَاعَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ، فِي طُهُورِهِ وَتَرَجّـُلِهِ وَتَنَعّـُلِهِ»
(Imam al-Bukhori berkata (dia)), "Telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb, dia (Sulaiman bin Harb) berkata, 'Telah mengabarkan kepada kami Syu'bah (bin al-Hajjaj bin al-Warad) dari al-Asy'Ats bin Sulaim dari Bapaknya (Sulaim bin Aswad dari Masyruq (bin al-Ajda') dari Aisyah radhiallahu'anha, dia (Aisyah radhiallahu'anha) berkata, "Nabi Shollallahu'alaihi wassalam suka mendahulukan yang kanan dalam setiap perbuatannya, seperti dalam bersuci, menaiki kendaraan, dan memakai sandal. " Hadits Shohih   (HR. Al-Bukhori no. 426. Dalam lafazh yang lainnya no. 5380 ada tambahan :
فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

"Di setiap urusannya."  Hadits Shohih   (Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di Shohihnya no. 268 (67), Abu Dawud no. 4140, at-Tirmidzi no. 608, an-Nasa'i no. 421, Ibnu Majah no. 401)
(فائدة) : قال الشيخ تقى الدين (يعنى ابن دقيق العيد) : " هذا الحديث عام مخصوص لأن دخول الخلاء والخروج من المسجد ونحوهما يبدأ فيهما باليسار " نقله الحافظ فى " الفتح " (1/216) وأقره.
Faidah  – Asy-Syaikh Taqiyuddin (yaitu Imam Ibnu Daqiqil 'Ied) berkata: "hadits ini adalah hadits yang umum namun dapat dikhususkan karena masuk kamar mandi dan keluar dari masjid atau yang semisal keduanya dilakukan dengan kaki kiri. 'Al-Hafizh juga menukilkan pendapat tersebut di kitabnya Fathul Bari 1/216 dan beliau mengakuinya. (Lihat Irwau-ul Ghalil 1/131)
Hadits ketiga  yaitu:
حَدّثَنَا أَبُو حَفْصٍ عُمَرُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمُفِيدُ الْبَصْرِيّ، ثنا أَبُو خَلِيفَةَ الْقَاضِي، ثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطّيَالِسِـُيّ، ثنا شَدّادٌ أَبُو طَلْحَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ قُرّةَ، يُحَدِّثُ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّهُ كَانَ، يَقُولُ: «مِنَ السّـُنّـَةِ إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى، وَإِذَا خَرَجْتَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى»
(Imam Al-Hakim berkata), "Telah mengabarkan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Jafar al-Mufid al-Bashry, (Abu Hafsh berkata) 'Telah mengabarkan kepada kami Abu Khalifah al-Qadhy, (Abu Khalifah berkata), 'Telah mengabarkan kepada kami Abu Walid ath-Thayalisi, (Abu Walid berkata), 'Telah mengabarkan kepada kami Syadad Abu Tholhah, (Abu Tholhah berkata), 'Aku telah mendengar Mu'awiyah bin Qurrah mengabarkan dari Anas bin Malik radhiallahuanhu, bahwa beliau mengatakan "Termasuk amalan sunnah apabila engkau hendak masuk masjid maka mulailah dengan kaki kanan dan apabila meninggalkan masjid maka mulailah dengan kaki kiri"  Hadits Shohih   (HR. Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak I/218 no. 791 dan al-Baihaqy II/442 – hadits Shohih telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, Dishohihkan pula oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ahaadits ash-Shohihah no. 2478)
2. Doa ketika masuk kamar mandi
a.       Membaca BISMILLAH sebelum masuk kamar mandi, dalilnya adalah:
حَدّثَنَا مُحَمّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرّازِيّ قَالَ: حَدّثَنَا الحَكَمُ بْنُ بَشِيرِ بْنِ سَلْمَانَ قَالَ: حَدّثَنَا خَلّادٌ الصّفَّارُ، عَنْ الحَكَمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ النّصْرِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: " سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الخَلَاءَ، أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللَّهِ "
(Imam at-Tirmidzi berkata), "Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Humaid ar-Razi, Dia (– Muhammad bin Humaid ar-Razi) berkata, 'Telah mengabarkan kepada kami al-Hakam bin Basyir bin Salman, Dia(- al-Hakam) berkata, 'Telah menceritakan kepada kami Khallaad as-Shoffaar (bin Isa) dari Al-Hakam bin Abdullah an-Nashriy dari Abu Ishaq dari Abu Juhaifah dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu'anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu'alahi wassalam bersabda: "Penghalang antara pandangan mata jin dan aurat Bani Adam adalah ketika ada seorang diantara mereka yang masuk kamar mandi maka hendaknya mengucapkan : "BISMILLAH"   Hadits Shohih   (HR. at-Tirmidzi no. 606 dan Ibnu Majah no. 297, Hadits ini Shohih sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaul Gholil no. 50)
Imam at-Tirmidzi berkata:
«هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَإِسْنَادُهُ لَيْسَ بِذَاكَ القَوِيِّ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَشْيَاءُ فِي هَذَا»
"Ini adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini dan sanadnya juga tidak kuat. Telah diriwayatkan dari Shahabat Anas bin Malik radhiallah'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wassalam beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini."
Syaikh Albani berkata dalam Irwaul Ghalil hadits no. 50: "Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahahabat yaitu Ali bin Abi Tholib, Anas, Abu Sa'id al-Khudri, Ibnu Mas'ud dan Muawiyah bin Haidah. Dan di akhir pembahasan hadits ini Syaikh Al-Albani mengatakn dengan berbagai jalan yang telah disebutkan ini maka hadits ini menjadi shohih walaupun ada perawi-perawi yang dhoif ." Hadits ini tidak ada di dalam Musnad Imam Ahmad sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam As-Suyuthi dimana beliau menyandarkan hadits ini ada di Musnad Imam Ahmad."
b.      Membaca Doa Masuk Kamar Mandi / WC :
حَدّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ العَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا، يَقُولُ: كَانَ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلاَءَ قَالَ:
«الَلّهُـّمَ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ»

(Imam al-Bukhori berkata) "Telah menceritakan kepada kami Adam (bin Abu Iyas), Dia (Adam) berkata: 'Telah menceritakan kepada kami Syu'bah (bin Al-Hajjaj bin Al-Warad) dari Abdul Aziz bin Shuhaib, dia (Abdul Aziz bin Shuhaib) berkata: "Aku pernah mendengar Anas (radhiallahu'anhu) berkata, "Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam apabila hendak masuk kamar mandi maka beliau berdoa:
"Allahumma inni A'udzubika minal Hubutsi wal Khobaits" (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan setan perempuan). (Muttafaqun 'Alaihi -disepakati Imam al-Bukhori dan Muslim)
 Hadits Shohih   (HR. Al-Bukhori no 142 dan Muslim no. 375 (122) )
Diriwayat pula oleh Muslim lafazhnya memakai lafazh Al-Khubsi – الْخُبْثِ Sedangkan riwayat dari Imam al-Bukhori dan lainnya memakai kata الْخُبُثِ huruf "BA" di dhomahkan bukan disukunkan, sehingga boleh keduanya dipakai. (Lihat Syarah Shohih Muslim oleh Imam an-Nawawi IV/71)
2.      Doa ketika keluar kamar mandi
Berdasarkan hadits:
حَدّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ النّاقِدُ، حَدّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، حَدّثَتْنِي عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الغَائِطِ قَالَ:
«غُفْرَانَكَ»
(Imam Abu Dawud berkata), "Telah menceritakan kepada kami Amr bin Muhammad An-Naqidh, dia (Amr bin Muhammad an-Naqidh) berkata, 'Telah mengabarkan kepada kami Hasyim bin al-Qasim, dia (Hasyim bin al-Qasim) berkata, 'Telah menceritakan kepada kami Israil (bin Yunus bin Abi Ishaq) dari Yusuf bin Abu Burdah dari Bapaknya, (Abu Burdah berkata) telah menceritakan kepadaku Aisyah radhiallahuánha, Bahwa Rasulullah Shallallahuálaihi wassalam apabila keluar dari kamar mandi/WC beliau mengucapkan:
"GUFRONAKA" (Aku memohon ampunan-Mu). (Hadits dikeluarkan oleh Empat Imam Penulis Sunan kecuali an-Nasa-i)
            Hadits Shohih   (HR. Abu Dawud no. 30, at-Tirmidzi no. 7, Ibnu Majah no. 300, Al-Hakim 1/158, al-Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 693, Ahmad 6/155, Hadits ini shohih sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaul Ghalil no. 52)
Meminta ampun dengan menyebutkan GUFRONAKA mempunyai dua kemungkinan makna.
Makna yang pertama adalah bahwa Rasulullah Shallalallahuálahi wassalam memohon ampun dari meninggalkan dzikir kepada Allah pada saat di dalam kamar mandi/wc.
Kedua yaitu bahwa Nabi Shallallahuálaihi wassalam memohon ampunan ketika merasa lemah untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat dan kemudahan dalam mendapatkan makanan dan mendapatkan manfaat dari yang dimakan dan keluarnya sisa-sisa pencernaan dengan mudah maka sebagai kompensasi dari kelemahan untuk bersyukur itu adalah dengan permohonan ampunan. (Lihat Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud 1/33-34 cet. Darul Kutub al-Ilmiyyah)
Kejadian manusia masuk kamar mandi dalam sehari semalam merupakan kebiasaan yang terjadi berulang kali dan setiap kali keluar masuk dari kamar mandi dengan menerapkan sunnah-sunnah tersebut maka ia telah melaksanakan dua sunnah Rasul Shallallahuálaihi wassalam ketika masuk (mendahulukan kaki kiri dan berdoa ketika masuk) dan dua sunnah Rasul Shallallahuálaihi wassalam ketika keluar (mendahulukan kaki kanan dan berdoa ketika keluar).
Makna dari ُاَلْـخُبُثُ وَ الْـخَبَائِث adalah syaitan dari jenis laki-laki dan perempuan. Berlindunglah kepada Allah dari kejahatan mereka karena sesungguhnya kamar mandi adalah tempat tinggal mereka.
Sumber :
1.      Shohih al-Bukhori dan Shohih Muslim cet. Daar al-Ma'rifah.
2.      Sunan At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Abu Dawud cet. Maktabah al-Ma'arif.
3.      Musnad Imam Ahmad cet. Baitul Afkar Dauliyah.
4.      Irwaul Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manaris Sabiil oleh Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani cet. Al-Maktab al-Islamy th. 1405 H.
5.      Silsilah Ahaadits ashShohihah oleh Syaikh Muhammad Nashirrudin al-Albani cet. Maktabah al-Ma'arif.
6.      Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abu Dawud oleh Syaikh Abu Abdirrahman Syaraful Haq Ash-Shidiqy al-Adzim Aabady cet. Darus Salam Lin Nashr wa Tauzi' th. 1430 H
7.      dan cet. Darul Kutub Ilmiyyah .
8.      Kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah,dengan berbagai tambahan dan takrij hadits oleh admin, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rakhmawan, Cet. Pustaka Imam as-Syafii Jakarta.
9.      Belajarhadist.com

HADIST MENDENGAR PETIR

Apabila Abdullah bin Az-Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi
“Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya”[1]
Doa yang lain, dari ‘Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tatkala mendengar suara petir, beliau mengucapkan,
سُبْحَانَالَّذِيسَبَّحَتْلَهُ
‘Subhanalladzi sabbahat lahu’
“ Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya”
Lalu beliau mengatakan,
قال إن الرعد ملك ينعق بالغيث كما ينعق الراعي بغنمه
”Sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya.”[2]
Perlu diketahui bahwa tidak ada doa yang marfu’ (bersumber langsung sanadnya) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ada adalah atsar dari sahabat, dalam fatwa Al-lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi) dijelaskan,
من عمل بهذا اقتداءً بهذا الصحابي فلا بأس بذلك، ولا نعلم شيئاً ثابتاً فيه مرفوعاً إلى النبي صلى الله عليه وسلم
“barangsiapa yang mengamalkan dengan mencontoh para Sahabat, maka tidak mengapa. Kami tidak mengetahui sedikitpun hadits yang marfu’ (sampai sanadnya) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[3]
Artikel www.muslim.or.id
https://muslim.or.id/18975-doa-ketika-mendengar-petir.html

HADIST NAIK KENDARAAN
Pada masa silam, manusia bepergian dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain dengan membawa barang atau perbekalan di atas punggungnya. Sebagian yang lain bepergian dengan menunggang hewan tunggangan sambil membawa berbagai muatan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلا بِشِقِّ الأنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (٧)وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Dan ia (hewan ternak) mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Rabbmu Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. An-Nahl: 7-8)
Adapun di masa sekarang, begitu mudahnya seseorang untuk bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain dalam waktu cepat tanpa banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran, walaupun terkadang tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan.
Kendaraan merupakan salah satu nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia. Hal ini juga sebagai bukti curahan kasih sayang Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya. Hal ini karena segala nikmat yang kita terima atau musibah yang kita terhindar darinya merupakan tanda kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita. Allah Ta’ala berfirman
وَآيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ (٤١)وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ (٤٢)
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah Kami angkut keturunan mereka dalam perahu yang penuh muatan, dan Kami ciptakan bagi mereka (angkutan lain) seperti apa yang mereka kendarai.” (QS. Yasin: 41-42)
Allah Ta’ala berfirman
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ

Dan kami angkut Nuh ke atas (perahu) yang terbuat dari papan dan paku.” (QS. Al Qomar: 13)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala tidak langsung menyebut “perahu”, namun menyebutnya sebagai “sesuatu yang terbuat dari papan dan paku”. Hal ini mengisyaratkan adanya pengajaran dari Allah Ta’ala kepada manusia tentang bahan baku pembuatan perahu. Seakan-akan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perahu Nabi Nuh ‘alaihissalam terbuat dari papan dan paku agar menjadi contoh bagi manusia untuk membuatnya.
Allah Ta’ala menisbatkan pembuatan perahu kepada diri-Nya seperti dalam ayat (yang artinya), “Kami ciptakan untuk manusia semisal (perahu Nuh ‘alaihis salam) …”. Padahal perahu tersebut dibuat oleh manusia (Nabi Nuh ‘alaihis salam), bukan diciptakan oleh Allah Ta’ala sebagaimana Dia menciptakan unta yang kita tunggangi, kuda, dan yang serupa dengannya. Hal ini dikarenakan Allah-lah yang mengajari manusia tata cara membuat perahu.
1. Berdoa ketika naik kendaraan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdoa

(سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَـهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ) اَلْحَمْدُ لِلََّهِ اَلْحَمْدُ لِله اَلْحَمْدُ لِلََّهِ اَلْحَمْدُ لِله ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ ، سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (pada hari kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Doa ini mengandung sanjungan kepada Allah Ta’ala yang telah menjadikan kendaraan tersebut dapat dikendarai, padahal sebelumnya manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengendarainya. Di dalam doa ini juga terkandung pengakuan bahwasanya kita akan kembali kepada Allah pada hari kiamat, serta pengakuan atas kelalaian dan dosa yang telah kita lakukan.
2. Bertakbir dan bertasbih selama perjalanan
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bertakbir ketika melewati jalan yang naik, dan bertasbih ketika melewati jalan yang turun”. (HR. Al-Bukhari) Maksudnya adalah ketika menaiki tempat-tempat yang tinggi mengucapkan: “Allahu Akbar”, dan ketika menuruni tempat-tempat yang lebih rendah mengucapkan: “Subhanallah”. Bertakbir manakala menaiki tempat yang tinggi akan membuat kita merasakan kebesaran Allah Ta’ala serta keagungan-Nya. Sedangkan bertasbih ketika menuruni tempat yang rendah akan membuat kita merasakan kesucian Allah Ta’ala dari segala kekurangan.
3. Berdoa ketika kendaraan tergelincir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengumpat setan ketika tergelincir dan mengajarkan kita untuk mengucapkan, “bismillah”. Usamah bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tunggangannya tergelincir, maka aku berkata, ‘tergelincirlah setan.’ Maka Nabi berkata, ‘Janganlah kamu katakan tergelincirlah setan. Jika kamu berkata demikian, dia (setan) akan membesar hingga sebesar rumah, dan berkata, ‘Dengan kekuatanku.’ Akan tetapi katakanlah, ‘bismillah’. Jika kamu berkata demikian, dia akan mengecil hingga sekecil lalat.’” (HR. Abu Dawud) Menyebut nama Allah Ta’ala akan meleburkan setan sebagaimana air meleburkan garam.
4. Membebani kendaraan sesuai daya angkut
Di antara adab berkendaraan adalah dibolehkannya berkendaraan dengan beberapa penumpang selama tidak melebihi daya angkut kendaraan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengkan sebagian sahabatnya seperti Mu’adz, Usamah, Al-Fudhail, begitu juga memboncengkan ‘Abdullah bin Ja’far dan Hasan atau Husain bersama-sama, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua.
Membebani kendaraan melebihi daya angkut yang telah ditetapkan merupakan suatu bentuk kedzaliman. Hal ini akan menyebabkan rusaknya kendaraan dan ini merupakan bentuk penyia-nyiaan harta.
5. Tidak menjadikan kendaraan semata-mata sebagai tempat duduk
Terdapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kalian menjadikan punggung-punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar (semata-mata sebagai tempat duduk). Sesungguhnya Allah menundukkannya untuk kalian supaya mengantarkan ke negeri yang belum pernah kalian capai kecuali dengan bersusah payah. Dan Allah menciptakan bumi untuk kalian, maka hendaklah kalian tunaikan kebutuhan kalian di atas tanah”. (HR. Abu Dawud)

Maksud dari hadits ini adalah larangan untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang dalam rangka jual beli atau yang selainnya di atas kendaraan (berupa hewan) yang sedang berhenti. Hendaknya seseorang menunaikan keperluannya dengan cara turun dari kendaraan dan mengikatnya di tempat yang semestinya.
Adapun berdirinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hewan tunggangan beliau saat Haji Wada’ adalah demi kemaslahatan yang besar. Hal ini supaya khutbah beliau kepada para manusia mengenai perkara-perkara Islam serta hukum-hukum yang terkait ibadah dapat didengar dengan jelas oleh sahabat-sahabat beliau ketika itu. Apalagi, perbuatan beliau tersebut juga tidak dilakukan secara terus-menerus sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, sehingga hal ini tidak membuat hewan tunggangan merasa letih dan bosan. Berbeda dengan sekedar duduk-duduk dan berbincang-bincang di atas hewan tunggangan yang sedang berhenti tanpa ada maslahat, dalam waktu lama, dan dilakukan berulang-ulang maka dapat menyebabkan hewan tunggangan merasa letih dan bosan.
Kendaraan pada zaman ini tidak bisa disamakan dengan hewan tunggangan yang dapat merasa letih dan bosan. Meskipun demikian, tidak selayaknya seorang pengendara duduk-duduk dan berbincang-bincang di atas kendaraannya yang sedang berhenti karena akan mengganggu serta menyusahkan pengguna jalan yang lain. Berhenti di sembarang tempat juga akan mempersempit jalan yang seharusnya dapat dipergunakan oleh pengguna jalan yang lain. Allah Ta’ala berfirman
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
6. Memandang kendaraan yang lebih rendah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada umatnya bagaimana cara memperkuat rasa syukur atas berbagai nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan, yaitu dengan selalu memandang orang-orang yang berada di bawahnya dalam akal, nasab (keturunan), harta, dan berbagai nikmat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ
Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang yang di atas kalian. Itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Demikianlah paparan ringkas yang dapat kami tuliskan. Semoga kita dapat mengambil keteladanan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan.
Referensi:
Tafsir Al-Quran Al-Karim Surat Yasin hal 150-155, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya.
Bahjah Qulub Al-Abrar hal 66, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
Kitab Al-Adab hal 301-304, Fuad bin ‘Abdil ‘Aziz Asy Syalhubi, Dar Al-Qosam.
Syarh Kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ hal 22-23, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Dar As-Salafiyyah.
Syarh Hishnul Muslim hal 292, 298, 301, Majdi bin ‘Abdil Wahhab Ahmad, Muassasah Al-Jaraysi Littauzi’ wal-I’lan.

HADIST MASUK MESJID
Sebagai rumah dari rumah-rumah Allah Ta’ala yang mempunyai peranan vital, ada beberapa etika yang telah digariskan oleh Islam ketika berada di dalamnya. Antara lain :
1. Mengikhlaskan Niat Kepada Allah Ta’ala
Hendaknya seseorang yang ingin ke masjid mengikhlaskan niatnya sehingga Allah Ta’ala menerima ibadah yang ia lakukan di masjid. Hendaknya ia mendatangi masjid untuk menunaikan tugas seorang hamba yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa dilandasi rasa ingin dipuji manusia atau ingin dilihat oleh masyarakat. Karena sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya.
2. Berpakaian Indah Ketika Hendak Menuju Masjid
Sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid” [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “dalam ayat ini, Allah tidak hanya memerintahkan hambanya untuk menutup aurat, akan tetapi mereka diperintahkan pula untuk memakai perhiasan. Oleh karena itu hendaklah mereka memakai pakaian yang paling bagus ketika shalat” [5]
Dan dijelaskan dalam kitab tafsir karangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “berlandaskan ayat ini dan ayat yang semisalnya disunahkan berhias ketika akan shalat, lebih-lebih ketika hari Jumat dan hari raya. Termasuk perhiasan yaitu siwak dan parfum” .[6]
3. Menghindari Makanan Tidak Sedap Baunya
Maksudnya adalah larangan bagi seseorang yang makan makanan yang tidak sedap baunya, seperti mengonsumsi makanan yang menyebabkan mulut berbau, seperti bawang putih, bawang merah, jengkol, pete, dan termasuk juga merokok atau yang lainnya untuk menghadiri shalat jamaah, berdasarkan hadis,
Dari Jabir radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa yang memakan dari tanaman ini (sejenis bawang dan semisalnya), maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena sesungguhnya malaikat   terganggu   dengan   bau   tersebut, sebagaimana manusia”.
Juga hadis Jabir, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فيِ بَيْتِهِ
Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka hendaklah menjauhi kita”, atau bersabda, “Maka hendaklah dia menjauhi masjid kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”.[7]
Hadis tersebut bisa dibawa ke persamaan kepada segala sesuatu yang berbau tidak sedap yang bisa menganggu orang yang sedang shalat atau yang sedang beribadah lainnya. Namun jika seseorang sebelum ke masjid memakai sesuatu yang bisa mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya, maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri masjid.
4. Bersegera Menuju Rumah Allah Ta’ala
Bersegera menuju masjid merupakan salah satu ciri dari semangat seorang muslim untuk melakukan ibadah. Jika waktu shalat telah tiba, hendaklah kita bersegera menuju masjid karena di dalamnya terdapat ganjaran yang amat besar, berdasarkan hadis:
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Seandainya manusia mengetahui keutamaan shaf pertama, dan tidaklah mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi niscaya mereka akan berundi. Dan seandainya mereka mengetahui keutamaan bersegera menuju masjid niscaya mereka akan berlomba-lomba”.[8]
5. Berjalan Menuju Masjid Dengan Tenang dan Sopan
Hendaknya berjalan menuju shalat dengan khusyuk, tenang, dan tentram. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang umatnya berjalan menuju shalat secara tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan. Abu Qatadah radhiallahu’anhu berkata, “Saat kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan shalat beliau mengingatkan,
مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ بِاالسَّكِيْنَةِ  فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab, “Kami tergesa-gesa menuju shalat.” Rasulullah menegur mereka, “Janganlah kalian lakukan hal itu. Apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah berjalan dengan tenang, dan rakaat yang kalian dapatkan shalatlah dan rakaat yang terlewat sempurnakanlah”[9]
6. Adab Bagi Wanita [10]
Tidak terlarang bagi seorang wanita untuk pergi ke masjid. Namun rumah-rumah mereka lebih baik Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan:
1.      Meminta izin kepada suami atau mahramnya
2.      Tidak menimbulkan fitnah
3.      Menutup aurat secara lengkap
4.      Tidak berhias dan memakai parfum
Perbuatan kaum wanita yang memakai parfum hingga tercium baunya dapat menimbulkan fitnah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian keluiar menuju masjid, maka tidak akan diterima shalatnya sehingga ia mandi” [11]
Abu Musa radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً
Setiap mata berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi lalu lewat di sebuah majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini, begini, yaitu seorang wanita pezina”.[12]
7. Ketika Masuk Masjid Berdoa dan Mendahulukan Kaki Kanan
Hendaklah orang yang keluar dari rumahnya membaca doa,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
Dengan menyebut nama Allah aku bertawakal kepada-Nya, tidak ada daya dan upaya selain dari Allah semata”.[13]
Kemudian ketika berjalan menuju masjid hendaklah berdoa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
Yaa Allah… berilah cahaya di hatiku, di penglihatanku dan di pendengaranku, berilah cahaya di sisi kananku dan di sisi kiriku, berilah cahaya di atasku, di bawahku, di depanku dan di belakangku, Yaa Allah berilah aku cahaya”[12].
8. Shalat Tahiyatul Masjid
Di antara adab ketika memasuki masjid adalah melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk. Shalat ini diistilahkan para ulama dengan shalat tahiyatul masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِ
Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk” [13]
9.Larangan Keluar Setelah Adzan Kecuali Ada Alasan
Jika kita berada di dalam masjid dan azan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai dtunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada uzur. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiallahu’anhu, beliau berkata,
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kami pernah duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kemudian muazin mengumandangkan azan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau berkata, “Perbuatan orang tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu’alaihi Wasallam” .[14]
10.Larangan melingkar di dalam masjid untuk berkumpul untuk kepentingan dunia
Terdapat larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepentingan dunia semata. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا  وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ
Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam masjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka” .[15]
11. Keluar Masjid Dengan Mendahulukan Kaki Kiri Dan Membaca Doa
Apabila keluar masjid, hendaklah kita mendahulukan kaki kiri seraya berdoa. Dari Abu Humaid radhiallahu’anhu atau dari Abu Usaid radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya dia membaca, “Allahummaftahli abwaaba rahmatika” (Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu). Dan apabila keluar, hendaknya dia mengucapkan, “Allahumma inni as-aluka min fadhlika (Ya Allah, aku meminta kurnia-Mu)”





Referensi
https://muslim.or.id/19262-adab-adab-ketika-di-masjid.htmla
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Imam Ibnu Katsir         
Kitab-Kitab Karangan Syaikh Nashiruddin Al-Albani Seperti Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah, Irwaul Gholil, Shohih Targhib Wat Tarhib
Fathul Baari Fi Syarhi Shohi Al-Bukhari Karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqolaani
Syarah Shahih Muslim Karya Imam Nawawi
Al-Mausuuatul Aadaab Al-Islamiyyah Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada
Ahkaam Al-Masaajid Fi Syari’ah Al-Islamiyyah, Ibrahim Bin Sholih Al-Hudhoiri
Al-muslim wal masjid karya Ahmad Muslim Da’dus
Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz karya Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Adzim Badawi 
“Adab shalat berjamaah di masjid” situs muslim.or.id
“Adab ketika di masjid” oleh Hepi Andi Bustoni, MA
Hisnul Muslim min Adzkari Al-Kitabi was Sunnah, Syeikh Sa’id bin Ali Wahf Al-Qohthoni
https://muslim.or.id/19262-adab-adab-ketika-di-masjid.html


[1] Al-Muwaththa’ 2/992. Al-Albani berkata: Hadits di atas mauquf yang shahih sanadnya. Sumber : Kitab Hisnul Muslim Said bin Ali Al Qathanis

[2] Lihat Adabul Mufrod no. 722, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
[3] http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=22105

[4] QS. AI-A’raf: 31
[5] Al-Ikhtiyarot al-fiqhiyyah karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 4/24
[6] Tafsir Qur’an Adzhim karangan Imam Ibnu Katsir ( 2/195)
[7] HR Bukhari dan Muslim dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil no.547
[8] HR. Bukhari no 615
[9] HR Bukhari no 635 dan Muslim no 437
[10] Sebagian dari artikel “Adab Shalat Berjamaah Di Masjid” dalam Muslim.or.id

[11] HR.Ibnu Majah no 4002 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih Ibni Majah no. 3233
[12] HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2019

[13] HR. Tirmidzi no. 3426 dan Abu Dawud no. 5095. Dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2375 dan Syeikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 2443

[14] HR. Muslim no 655 dan dinilai shahih oleh Syeikh al-Albani dalam kitab shahih Ibni Maajah no599
[15] HR al-Hakim jilid 4 halaman 359 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani