Kamis, 25 Oktober 2018

MAKALAH BIOGARAFI Imam Bukhari, Imam muslim, Turmudzi, Abu daud, An-nasa’iy, dan Ibnu majah.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Mempelajari hadits merupakan sesuatu yang sangat urgen, sebab hadits merupakan salah satu pegangan dalam ajaran islam. Begitu pula dalam mempelajari ilmu hadits tak bisa dielakkan dalam mempelajari sejarah para periwayatnya untuk mengetahui kedudukan suatu hadits. Demikian juga dalam mentakhrij suatu hadits, maka kita harus mengetahui tentang biografi perawi hadits dan karya- karnya.
Kedudukan hadits juga akan dipengaruhi oleh siapa yang meriwayatkannya, setelah diketahui bagaimana seorang rawi maka ini merupakan salah satu faktor penentu apakah hadits tersebut shahih, hasan, atau dhaif. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai biografi dan hasil karya dari enam imam perawi hadits yaitu Imam Bukhari, Imam muslim, Turmudzi, Abu daud, An-nasa’iy, dan Ibnu majah.
1.2    Rumusan Masalah
1.      Biografi Imam Al-Bukhori ?
2.      Biografi Imam Muslim ?
3.      Biografi Imam Abu Dawud ?
4.      Biografi Imam Tirmidzi ?
5.      Biografi Imam Ahmad ?
6.      Biografi Ibnu Majah ?
7.      Biografi Imam An-Nasa’i ?

1.3    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui dan memahami biografi dari ulama-ulama hadist.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1    BIOGRAFI ULAMA HADIST

2.1.1 Imam Al-Bukhari
Nama lengkap Imam Al-Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Ju’fi adalah nama suatu daerah di negeri yaman, di mana kakek Imam Al-Bukhari, Mighirah ibn Bardizbah adalah seorang majusi yang kemudian menyatakan keislamannya di hadapan wali kota yang bernama al-Yaman ibn Ahnas Al-Ju’fi, yang karena itulah kemudian beliau dinasabkan dengan Al-ju’fi atas dasar wala’ al-Islam. Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang kabar beritanya. ”Tentang ayahnya Imam Al-Bukhati, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Imam al-Bukhari masih kecil.
Imam Al-Bukhari adalah ulama hadits yang sangat masyhur, beliau kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Sovyet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan Tiongkok. Beliau di lahirkan setelah shalat Jum’at, tanggal 13 Syawal 194 H atau 21 Juli 810 M. Beliau dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari, bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, “Aku mendengar bahwa Ahid Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari) ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal dari hartaku barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang syubhat.”
Pada waktu masih kanak-kanak Imam Al-Bukhari sudah hapal Tujuh Puluh Ribu (70.000) hadits di luar kepala. Dan bahkan dengan hanya melihat kitab saja, beliau langsung hapal seluruh isi kitab tersebut, mashaAllah. Sejak umur kurang lebih 10 tahun, beliau sudah hapal hadits dan menulisnya dengan banyak guru. Berikut ini adalah pengakuannya “Aku telah menulis hadits tidak kurang dari 1080 orang ahli hadits/guru”, menurutnya Iman itu adalah ucapan dan tindakan yang bisa bertambah dan juga bisa berkurang (di kutif dari syarah Asy Syabarkhaiti ala al-Arba’in al-Nawawiyah). Ketika beliau berusia 14 tahun, beliau sudah berhasil menampilkan kitab shahih yang berisikan Enam Puluh Ribu (60.000) hadits. Setelah selesai menulis sebuah hadits, beliau akan mandi kemudian sembahyang sebanyak dua rakaat. Pada usia 16 tahun, Imam Al-Bukhari telah berhasil menghafal beberapa buah buku tokoh ulama yang prominen, seperti Ibnu Mubarok, Waki’ dan lain-lain. Beliau juga telah memperoleh hadits dari beberapa huffadh, antara lain Maky ibn Ibrahim, ‘Abdullah ibn ‘Usman Al-Marwazy’, ‘Abdullah ibn Musa Al-‘Abbasy, Abu ‘Ashim Al-Saibany dan Muhammad ibn ‘Abdullah Al-Ashari. Sedangkan ulama besar yang pernah mengambil hadits dari beliau, antara lain Imam Muslim, Abu Zur’ah, Al-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Al-Nasa’i.
Baliau merantau ke negeri Syam, Mesir Jazirah sampai dua kali, ke Basrah empat kali, ke Hijaz bermukim enam tahun dan pergi ke Baghdad bersama-sama para ahli hadits yang lain sampai delapan kali. Imam Al-Bukhari telah menuntut ilmu kepada ahli-ahli hadits yang popular pada masa itu, di berbagai Negara, yaitu Hijaz, Syam, Mesir dan Irak.
Imam Al-Bukhari meninggal dunia pada malam Selasa tahun 255 H, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari, dengan tidak meninggalkan seorang anak pun (menurut Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, dalam bukunya Ilmu Ushul Hadits). Sedangkan ada pendapat lain yang menerangkan bahwa Imam Al-Bukhari meninggal dunia pada hari Jum’at malam Sabtu setelah sembahyang Isya’, bertepatan pada malam ‘Idul Fitri 1 Syawal 256 H atau 31 Agustus 870 M. Dan kemudian beliau dikebumikan sehabis sembahyang Dhuhur pada hari Sabtu, di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari samarkan (menurut Drs. Munzier Suparto, M.A, dalam bukunya Ilmu Hadits).
2.1.2  Imam Muslim
 Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
2.1.3  Imam Abu Dawud
 Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, yang lebih dikenal dengan Imam Abu Dawud. Ia lahir tahun 202 H (817 M) di Basrah, Irak dan wafat tahun 276 H (888 M). Dalam kitab hadits, Abu Daud, Abi Daud, atau Abu Dawud dikenal sebagai salah seorang perawi hadits. Semasa hidupnya, Abu Dawud telah mengumpulkan sekitar 50.000 hadits. Puluhan ribu hadits ini kemudian diseleksi dan menulisnya kembali sehingga menjadi 4.800 shahih, di antaranya terkumpul pada kitab hadits, Sunan Abu Dawud.
Kecenderungan Abu Dawud dalam bidang hadits sebenarnya tidak terlepas dari didikan keluarganya. Al Asy'ats bin Ishaq, ayah Abu Dawud, seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid. Tidak hanya itu, saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni hadits dan ilmu hadits. Tidak jarang pula, Muhammad, saudaranya menjadi teman perjalanan Abu Dawud dalam mencari hadits dari ulama hadits.
Kecintaan Abu Dawud dalam bidang hadits terlihat sejak berusia belasan tahun. Abu Dawud sejak tahun 221 H, sudah berada di Baghdad. Abu Dawud sempat menyaksikan wafat Imam Muslim. Bahkan "Aku menyaksikan jenazahnya dan menshalatkannya, " kata Abu Dawud.
Ketika di Bagdad, Imam Abu Daud mulai menyusun kitab Sunannya. Uniknya, Abu Dawud memfokuskan diri pada hadits-hadits yang terkait dengan syariat. Setiap hadits dalam kumpulan haditsnya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur’an. Begitu pula dengan keseriusan Abu Dawud melihat hadits-hadits dari sisi sanadnya. Bahkan Abu Dawud pernah memperlihatkan kitab haditsnya kepada Imam Ahmad untuk dikoreksi.
Berkat kegigihannya mengumpulakan hadits, tidak sedikit ulama yang meriwayatkan hadits dari Abu Dawud. Di antara ulama yang meriwayatkan hadits dari Abu Dawud, ulama sekelas Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’I, keduanya tercatat sebagai ulama perawi hadits. Al-Khattabi mengomentari, Sunan yang disusun Abu Dawud merupakan sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqih dibanding kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.Selain sebagai muhaddits, Abu Dawud juga dikenal sebagai imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashrah. Padahal di kota ini, tempat berkembang kelompok Qadariyah, Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya. Namun , Abu Dawud tetap istiqomahan pada aqidah Sunnah wal Jamaah. Abu Dawud wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan dishalatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimi.
Kitab hadits Imam Tirmidzi yang dikenal dengan Sunan al Tirmidzi merupakan salah satu dari kitab standard hadits (kutub al hadits al sittah) yang menempati posisi ke-4 setelah Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud. Imam Tirmidzi telah mengintegrasikan dengan baik sekali dalam kitabnya, antara kajian hadits dan fiqh. Dalam kitabnya itu, Imam Tirmidzi menjelaskan derajat-derajat hadits yang dimuat, seperti hadits-hadits shahih, hasan, dan dla’if. Dalam kitabnya itu pula, yang di dalamnya terkandung hukum fiqh, Imam Tirmidzi menyertakan pula pendapat-pendapat para ulama’ dari berbagai madzhab, baik yang telah disepakati ataupun yang masih diperselisihkan.

2.1.4   Imam Tirmidzi
Nama lengkap Imam Tirmidzi adalah Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al Tirmidzi. Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena Beliau mengalami Kebutaan di masa tuanya. Menggunakan al-Sulami karena berasal dari Bani Sulaim, dari Qabilah ‘Aylan, sedangkan al Bughi adalah nama desa tempat Imam Tirmidzi wafat, yakni di Bugh dan dimakamkan juga disana.
Imam Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu ‘Isa, yang ternyata sebagian ulama’ tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang di-takhrij-kan Ibn Abi Syayban bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan sebutan atau nama Abu ‘Isa yang berarti ayah dari ‘Isa. Padahal Isa tidak punya Ayah. Dalam hal ini al Qari memberi penjelasan, bahwa yang dilarang itu apabila nama Abu ‘Isa sebagai nama pertama atau nama asli, tetapi apabila hanya sebagai sebutan atau julukan, maka tidak menjadi masalah. Itu dikarenakan untuk membedakan dengan ulama-ulama yang menggunakan sebutan al-Tirmidzi juga seperti Abu Abdullah Muhammad Ibn Ali Ibn Husayn al-Tirmidzi (Hakim al-Tirmidzi) seorang penulis besar sekaligus Sufi, dan Sayyid Burhanuddin al-Tirmidzi seorang sufi juga. Jadi Abu Isa yang dimaksud disini adalah Imam Tirmidzi yang mengarang kitab Hadits Sunan al-Tirmidzi, yang lahir di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan di kota Tirmidz.
Beberapa Penulis tidak menyebutkan secara pasti kapan Imam Tirmidzi dilahirkan. Tetapi menurut Ahmad Muhammad Syakir sebagaimana yang telah dikutip dari Syaikh Muhammad ‘Abd al Hadi al Sindi, bahwa Imam Tirmidzi lahir pada tahun 207 H. Masalahnya pada zaman dahulu memang sering kali ulama’ sebagai orang yang terkenal, orang besar, dicatat saat wafatnya, tetapi jarang diketahui dan dicatat hari kelahirannya, karena budaya mencatat tanggal lahir bagi seseorang belum memasyarakat. Al-Shalah al-Safadi dalam Nuqth al-Himyan hanya menyatakan beberapa tahun setelah tahun 200 H beliau dilahirkan.
Mengenai tahun wafatnya, baik al-Dzahabi maupun al-‘Alamah Malla ‘Ali al-Qary menyebutkan tahun 279 H yakni dalam usia 70 tahun. Al-Syakir menyebutkan bahwa Imam al-Tirmidzi wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H pada malam senin. Hal ini juga senada yang disampaikan oleh al-Hafidz al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari al-Hafizh Abu Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz al-Mustaghfiri sebagai ahli sejarah yang telah berkunjung ke Khurasan dan Lama tinggal disana.

Peran Imam Tirmidzi Dalam Pengembangan Hadits
Merumuskan Hadits Hasan
Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam kajian hadits dikenal istilah mardud  dan maqbul. Sebuah hadits yang dinyatakan  maqbul  dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits shahih, hadits dlaif, dan hadits hasan.
Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad, yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil,  dlabith, sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak janggal.
Apabila bnyak tabi’in yang meriwayatkan, berate cukup kuat meskipun lafadz tidak sama, asalkan maknanya masih ada kaitannya. Oleh karena itu Imam Tirmidzi mengatakan hadits hasan tidak harus bersambung (ittishol), tetapi harus tidak syadz dan banyak jalan. Contoh hadits hasan:
قَالَ لَهُ النبي صلى الله عليه وسلم: أبغني احجارا استنفض بهن قال: فاتيته بحجرين وروثة: فاخذ الحجرين وترك الروثة وقال: اِنها رج
Nabi bersabda kepadanya: carikanlah tiga batu untuk saya gunakan untuk bersuci. Ia berkata:”maka saya bawakan kepadanya dua biji batu kerikil dan sebiji kotoran hewan. Ia berkata:”Nabi mengambil dua batu dan meninggalkan kotoran itu, seraya bersabda: “sesungguhnya kotoran itu adalah najis”
Hadits diatas menjelaskan, bahwa batu kerikil yang diminta Nabi untuk bersuci adalah 3 biji batu kerikil. Ternyata Ibnu Mas’ud hanya mendapatkan dua biji batu kerikil, yang dicoba ditambah dengan sebiji kotoran hewan sehingga cukuplah 3 buah. Nabi hanya mengambil 2 batu kerikil karena yang ketiga adalah kotoran hewan yang hukumnya najis. Imam Bukhari menilai hadits ini Shahih dari Isnad Abu Hurayrah yang ditulis pada Bab Wudhu’.
Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini mempunyai Illat dan isnad haditsnya adalah isnad Abi ‘Ubaidillah dari bapaknya, padahal menurut penelitian Abi ‘Ubaidillah tidak mendengar dari bapaknya. Tetapi karena hadits itu banyak isnadnya, maka menurut Tirmidzi hadits ini nilainya Hasan.

2.1.5  Imam Ahmad
 Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 3 tahun. Lalu beliau diasuh oleh Ibunya. Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian beliau fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau haji beberapa kali, kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar menemui Abdurrozaq di Yaman dan belajar darinya. Beliau telah berkelana ke negeri-negeri dan penjuru dunia. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama besar saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan memuliakan beliau. [Lihat bidayah wa nihayah, hal 14/381-383]
Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) –semoga Allah meridhoinya- mulai menuntut ilmu dari para masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah, Bashroh, Makah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah. Beliau menulis dari para ulama setiap negeri” [Manaqib Imam Ahmad hal.46]
Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa perkataan ulama tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya melihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang yang terdahulu dan yang terakhir pada setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai yang dikehendakinya dan menahan yang dikehendakinya”Ahmad bin Sa’id Ar Roziy berkata, “Saya belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadits Rasulullah dan lebih memahami fikih dan maknanya dari Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal” [Manaqib Imam Ahmad hal.90]
Abu Zur’ah berkata, “Ahmad bin Hanbal hafal satu juta hadits”. Lalu dikatakan kepadanya, “Bagaimana Anda mengetahui?” Dia (Abu Zur’ah) menjawab, “Saya belajar padanya, saya mengambil darinya beberapa bab”
Amal dan Akhlaq beliau, dahulu para salafus salih belajar ilmu dan amal secara bersamaan. Mereka belajar sekaligus mengamalkan ilmu mereka. Dikatakan dalam sebuah perkataan hikmah ‘Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah’. Allah berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqoroh: 282).  Begitu pula Imam Ahmad. Beliau dikenal dengan ilmu yang luas, amal salih dan akhlaq yang utama.
Madzab-madzab ahlussunnah seluruhnya adalah madzab yang haq, terutama madzab imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’I dan Ahmad. Setiap madzab ini memiliki ciri khas. Adapun ciri khas yang membedakan madzab imam Ahmad dari yang lainnya adalah dekatnya dengan nash (dalil) dan fatwa-fatwa para sahabat Rasulullah.
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sangat tidak menyukai menyusun kitab. Beliau menyukai menulis hadits. Beliau sangat tidak suka perkataannya ditulis. Allah mengetahui baiknya niat dan maksud beliau. Perkataan dan fatwa-fatwa beliau ditulis mencapai lebih dari 30 kitab. Allah menganugerahi kita dari kebanyakannya dan tidak hilang (tulisan-tulisan tersebut) kecuali sedikit. Dan dikumpulkan nash-nash beliau di Al Jami’ al Kabir sehingga sampai sekitar 20 kitab atau lebih. Diriwayatkan pula fatwa-fatwa dan masa’il beliau dan dibicarakan (dibahas) dari generasi ke generasi. Beliau pun menjadi imam dan qudwah ahlussunnah…” [I’lamul Muwaqi’in, 1/28]
Diantara karangan beliau:
1.      Al Musnad dalam hadits. Imam Ahmad berkata pada anaknya, “Hafalkanlah karena sesungguhnya dia akan menjadi imam bagi manusia”
2.      At Tafsir, tediri dari sekitar 120 ribu hadits dan atsar.
3.      An Nasikh wa Al Mansukh
4.      At Tarikh
5.      Al Muqoddam wa Al Muawwal fil Qur’an
6.      Jawabaati Al Qur’aniyah
7.      Al Manasik Al Kabir wa Al Shaghir.
8.      Az Zuhd
9.      Ar Rad ‘ala Al Jahmiyah
Beliau meninggal malam Jum’at, malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal 241H. Jenazah beliau dihadiri dan disholatkan oleh manusia yang begitu banyak jumlahnya. Dikatakan dalam sebuat riwayat yang mensholati beliau sekitar 1 juta, dalam riwayat yang lain bahkan sampai 1.6 juta. Semoga Allah merahmati beliau dan memberi balasan yang sebaik-baiknya.
2.1.6  Ibnu Mâjah
 Nama  Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî. Nama yang lebih familiar adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama kakek beliau. Kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh. Nasab beliau: Ar Rib’I; merupakan nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab. al Qazwînî adalah nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq. Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; “aku dilahirkan pada tahun 209 hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di mana Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau beradaA di Qazwin. Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau.
Ibnu majah memulai aktifitas menuntut ilmunya di negri tempat tinggalnya Qazwin. Akan tetapi sekali lagi referensi-referensi yang ada sementara tidak menyebutkan kapan beliau memulai menuntut ilmunya. Di Qazwin beliau berguru kepada Ali bin Muhammad at Thanafusi, dia adalah seorang yang tsiqah, berwibawa dan banyak meriwayatkan hadits. Maka Ibnu Majah tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia memperbanyak mendengar dan berguru kepadanya. Ath Thanafusi meninggal pada tahun 233 hijriah, ketika itu Ibnu Majah berumur sekitar 24 tahun. Maka bisa di tarik kesimpulan bahwa permulaan Ibnu Majah menuntut ilmu adalah ketika dia berumur dua puluh tahunan.
Ibnu Majah termotivasi untuk menuntut ilmu, dan dia tidak puas dengan hanya tinggal di negrinya, maka beliaupun mengadakan rihlah ilmiahnya ke sekitar negri yang berdampingan dengan negrinya, dan beliau mendengar hadits dari negri-negri tersebut.
Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu mengadakan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau pun keluar meninggalkan negrinya untuk mendengar hadits dan menghafal ilmu. Berkeliling mengitari negri-negri islam yang menyimpan mutiara hadits. Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negri guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis.
Puluhan negri telah ia kunjungi, antara lain:Khurasan; Naisabur dan yang lainnya Ar Ray,Iraq; Baghdad, Kufah, Wasith dan Bashrah Hijaz; Makkah dan Madinah Syam; damasqus dan Himsh Mesir. Guru-guru beliau Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak sekali. Diantara guru beliau adalah; ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî Jabbarah bin AL Mughallas Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair Suwaid bin Sa’îd Abdullâh bin Muawiyah al JumahîMuhammad bin Ramh Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi Muhammad bin Abdullah bin Numair Abu Bakr bin Abi Syaibah Hisyam bin ‘Ammar Abu Sa’id Al Asyaj dan yang lainnya.
Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.” Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang Ibnu Majah adalah seorang ulama penyusun buku, dan hasil karya beliau cukuplah banyak. Akan tetapi sangat di sayangkan, bahwa buku-buku tersebut tidak sampai ke kita. Adapun diantara hasil karya beliau yang dapat di ketahui sekarang ini adalah: Kitab as-Sunan yang masyhur,Tafsîr al Qurân al Karîm, Kitab at Tarîkh yang berisi sejarah mulai dari masa ash-Shahâbah sampai masa beliau. Wafatnya beliau,Beliau meninggal pada hari senin, tanggal duapuluh satu ramadlan tahun dua ratus tujuh puluh tiga hijriah. Di kuburkan esok harinya pada hari selasa. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridlaan-Nya kepada beliau.

2.1.7  Imam an-Nasa`i
 Nama Imam an-Nasa`i adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr. Kuniyah Imam an-Nasa`i: Abu Abdirrahman. Nasab Imam an-Nasa`i: An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada negeri asal Imam an-Nasa`i, tempat Imam an-Nasa`i di lahirkan. Satu kota bagian dari Khurasan. Beliau diahirkan pada tahun 215 hijriah. Sifat-sifat Imam an-Nasa’i, An-Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik. Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.
Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena Imam an-Nasa`i mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu Imam an-Nasa`i berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negerinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.
Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana Imam an-Nasa`ipun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan Imam an-Nasa`i memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang digambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dha’if.
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi Imam an-Nasa`i bukan hanya memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi Imam an-Nasa`i berkeinginan untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan). Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’
Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam an Nasa`i mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan qari` dan Imam an-Nasa`i tidak dapat melihatnya. Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i “Sunan an-Nasa`i” sebagai kitab kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Jami’ at-Tirmidzi.
Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, Imam an-Nasa`i berkeliling ke negeri-negeri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga Imam an-Nasa`i dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh.

BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ke-tujuh imam beserta kitab-kitabnya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, tetapi mereka sama-sama pergi ke berbagai negara untuk menimba ilmu terutama dibidang hadis.
Mempelajari biografi para perawi hadist sangatlah perlu sebelum mengkaji ilmu hadist lebih dalam, karena dengan mengetahui biografi para perawi hadist kita bisa tahu membedakan anatar hadist yang shohih, hasan, dhaif, mursal dll, dengan begitu dalm mengkaji ilmu hadistnya akanlah sangat mudah.

3.2    Saran
Karena pentingnya ilmu Hadits maka sebagai umat islam kita seharusnya lebih memahami secara akan ilmu hadits tersebut serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kita harus tetap menjaga kemurnian dari isi hadits tersebut, karena bagaimanapun hadits merupakan pedoman setelah al Qur’an.









DAFTAR PUSTAKA
Alwi al Maliki, Muhammad. Ilmu Usul Hadits. Tej, Adnan Qohar Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2009
Smeera, Zeid B. Ulumul Hadis Pengantar Sudi Hadis Praktis. Malang:UIN Malang Press. 2008
Suryadi. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an dan Hadits. Yogyakarta:Jurnal Tafsir Hadis Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Kali Jaga. 2003
Sutamadi, Ahmad. Al Imam at Tirmidzi Peranannya dalam Pemgembangan Hadis dan Fiqih. Jakarta:Perpustakaan Nasional. 1998
Zakaria, Abu, htmlhttp://ukhuwahislamiah.com/biografi-singkat-imam-ahmad-bin-hanbal/ di akses 28 November 2016
Lidwa, http://www.lidwa.com/2011/biografi-imam-ibnu-majah/ di akses 28 November 2016
              di akses 28 November 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar