BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Mempelajari hadits merupakan sesuatu yang sangat urgen, sebab
hadits merupakan salah satu pegangan dalam ajaran islam. Begitu pula dalam
mempelajari ilmu hadits tak bisa dielakkan dalam mempelajari sejarah para periwayatnya
untuk mengetahui kedudukan suatu hadits. Demikian juga dalam mentakhrij suatu
hadits, maka kita harus mengetahui tentang biografi perawi hadits dan karya-
karnya.
Kedudukan hadits juga akan dipengaruhi oleh siapa yang
meriwayatkannya, setelah diketahui bagaimana seorang rawi maka ini merupakan
salah satu faktor penentu apakah hadits tersebut shahih, hasan, atau dhaif. Maka
dalam makalah ini akan dibahas mengenai biografi dan hasil karya dari enam imam
perawi hadits yaitu Imam Bukhari, Imam muslim, Turmudzi, Abu daud, An-nasa’iy,
dan Ibnu majah.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Biografi
Imam Al-Bukhori ?
2.
Biografi
Imam Muslim ?
3.
Biografi
Imam Abu Dawud ?
4.
Biografi
Imam Tirmidzi ?
5.
Biografi
Imam Ahmad ?
6.
Biografi
Ibnu Majah ?
7.
Biografi
Imam An-Nasa’i ?
1.3
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar pembaca dapat mengetahui dan
memahami biografi dari ulama-ulama hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
BIOGRAFI
ULAMA HADIST
2.1.1 Imam Al-Bukhari
Nama lengkap Imam Al-Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad ibn
Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Ju’fi adalah
nama suatu daerah di negeri yaman, di mana kakek Imam Al-Bukhari, Mighirah ibn
Bardizbah adalah seorang majusi yang kemudian menyatakan keislamannya di
hadapan wali kota yang bernama al-Yaman ibn Ahnas Al-Ju’fi, yang karena itulah
kemudian beliau dinasabkan dengan Al-ju’fi atas dasar wala’ al-Islam. Adapun
mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan,
“Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang kabar beritanya.
”Tentang ayahnya Imam Al-Bukhati, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah
menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang
tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya
al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan
riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut
Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Imam al-Bukhari masih kecil.
Imam Al-Bukhari adalah ulama hadits yang sangat masyhur, beliau
kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan, wilayah Uni Sovyet, yang merupakan
simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan Tiongkok. Beliau di lahirkan
setelah shalat Jum’at, tanggal 13 Syawal 194 H atau 21 Juli 810 M. Beliau
dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari
barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti yang
diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari, bahwa aku
pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, “Aku mendengar bahwa Ahid
Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari)
ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal dari hartaku
barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang syubhat.”
Pada waktu masih kanak-kanak Imam Al-Bukhari sudah hapal Tujuh
Puluh Ribu (70.000) hadits di luar kepala. Dan bahkan dengan hanya melihat
kitab saja, beliau langsung hapal seluruh isi kitab tersebut, mashaAllah. Sejak
umur kurang lebih 10 tahun, beliau sudah hapal hadits dan menulisnya dengan
banyak guru. Berikut ini adalah pengakuannya “Aku telah menulis hadits tidak
kurang dari 1080 orang ahli hadits/guru”, menurutnya Iman itu adalah ucapan dan
tindakan yang bisa bertambah dan juga bisa berkurang (di kutif dari syarah Asy
Syabarkhaiti ala al-Arba’in al-Nawawiyah). Ketika beliau berusia 14 tahun,
beliau sudah berhasil menampilkan kitab shahih yang berisikan Enam Puluh Ribu
(60.000) hadits. Setelah selesai menulis sebuah hadits, beliau akan mandi
kemudian sembahyang sebanyak dua rakaat. Pada usia 16 tahun, Imam Al-Bukhari
telah berhasil menghafal beberapa buah buku tokoh ulama yang prominen, seperti
Ibnu Mubarok, Waki’ dan lain-lain. Beliau juga telah memperoleh hadits dari
beberapa huffadh, antara lain Maky ibn Ibrahim, ‘Abdullah ibn ‘Usman
Al-Marwazy’, ‘Abdullah ibn Musa Al-‘Abbasy, Abu ‘Ashim Al-Saibany dan Muhammad
ibn ‘Abdullah Al-Ashari. Sedangkan ulama besar yang pernah mengambil hadits
dari beliau, antara lain Imam Muslim, Abu Zur’ah, Al-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah
dan Al-Nasa’i.
Baliau merantau ke negeri Syam, Mesir Jazirah sampai dua kali, ke
Basrah empat kali, ke Hijaz bermukim enam tahun dan pergi ke Baghdad
bersama-sama para ahli hadits yang lain sampai delapan kali. Imam Al-Bukhari
telah menuntut ilmu kepada ahli-ahli hadits yang popular pada masa itu, di
berbagai Negara, yaitu Hijaz, Syam, Mesir dan Irak.
Imam Al-Bukhari
meninggal dunia pada malam Selasa tahun 255 H, dalam usia 62 tahun kurang 13
hari, dengan tidak meninggalkan seorang anak pun (menurut Prof. Dr. Muhammad
Alawi Al-Maliki, dalam bukunya Ilmu Ushul Hadits). Sedangkan ada pendapat lain
yang menerangkan bahwa Imam Al-Bukhari meninggal dunia pada hari Jum’at malam Sabtu
setelah sembahyang Isya’, bertepatan pada malam ‘Idul Fitri 1 Syawal 256 H atau
31 Agustus 870 M. Dan kemudian beliau dikebumikan sehabis sembahyang Dhuhur
pada hari Sabtu, di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari samarkan (menurut
Drs. Munzier Suparto, M.A, dalam bukunya Ilmu Hadits).
2.1.2 Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M.
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim
bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk
wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a
an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di
Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat
pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya
Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam
Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia
Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar
biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada
tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas
tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan
ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan
berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian,
beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan
dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu
telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru
besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam
karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa
pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar
10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits
yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa
pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis
dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang
beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan
waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan
prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk
menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul
(metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada
saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada
saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim
menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik,
dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar
ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam
Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu
tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
2.1.3 Imam Abu Dawud
Abu Dawud Sulaiman bin
Al-Asy'ats As-Sijistani, yang lebih dikenal dengan Imam Abu Dawud. Ia lahir
tahun 202 H (817 M) di Basrah, Irak dan wafat tahun 276 H (888 M). Dalam kitab
hadits, Abu Daud, Abi Daud, atau Abu Dawud dikenal sebagai salah seorang perawi
hadits. Semasa hidupnya, Abu Dawud telah mengumpulkan sekitar 50.000 hadits.
Puluhan ribu hadits ini kemudian diseleksi dan menulisnya kembali sehingga
menjadi 4.800 shahih, di antaranya terkumpul pada kitab hadits, Sunan Abu
Dawud.
Kecenderungan Abu Dawud dalam bidang hadits sebenarnya tidak
terlepas dari didikan keluarganya. Al Asy'ats bin Ishaq, ayah Abu Dawud,
seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid. Tidak hanya
itu, saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni hadits
dan ilmu hadits. Tidak jarang pula, Muhammad, saudaranya menjadi teman
perjalanan Abu Dawud dalam mencari hadits dari ulama hadits.
Kecintaan Abu Dawud dalam bidang hadits terlihat sejak berusia
belasan tahun. Abu Dawud sejak tahun 221 H, sudah berada di Baghdad. Abu Dawud
sempat menyaksikan wafat Imam Muslim. Bahkan "Aku menyaksikan jenazahnya
dan menshalatkannya, " kata Abu Dawud.
Ketika di Bagdad, Imam Abu Daud mulai menyusun kitab Sunannya.
Uniknya, Abu Dawud memfokuskan diri pada hadits-hadits yang terkait dengan
syariat. Setiap hadits dalam kumpulan haditsnya diperiksa kesesuaiannya dengan
Al-Qur’an. Begitu pula dengan keseriusan Abu Dawud melihat hadits-hadits dari
sisi sanadnya. Bahkan Abu Dawud pernah memperlihatkan kitab haditsnya kepada
Imam Ahmad untuk dikoreksi.
Berkat kegigihannya mengumpulakan hadits, tidak sedikit ulama yang
meriwayatkan hadits dari Abu Dawud. Di antara ulama yang meriwayatkan hadits
dari Abu Dawud, ulama sekelas Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’I, keduanya tercatat
sebagai ulama perawi hadits. Al-Khattabi mengomentari, Sunan yang disusun Abu
Dawud merupakan sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqih
dibanding kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Imam Al-Ghazali juga
mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang
mujtahid untuk menjadi landasan hukum.Selain sebagai muhaddits, Abu Dawud juga
dikenal sebagai imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di
Bashrah. Padahal di kota ini, tempat berkembang kelompok Qadariyah, Khowarij,
Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya. Namun
, Abu Dawud tetap istiqomahan pada aqidah Sunnah wal Jamaah. Abu Dawud wafat di
kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan dishalatkan janazahnya oleh Abbas bin
Abdul Wahid Al Haasyimi.
Kitab hadits Imam Tirmidzi yang dikenal dengan Sunan al Tirmidzi
merupakan salah satu dari kitab standard hadits (kutub al hadits al sittah)
yang menempati posisi ke-4 setelah Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Sunan Abu
Dawud. Imam Tirmidzi telah mengintegrasikan dengan baik sekali dalam kitabnya,
antara kajian hadits dan fiqh. Dalam kitabnya itu, Imam Tirmidzi menjelaskan
derajat-derajat hadits yang dimuat, seperti hadits-hadits shahih, hasan, dan
dla’if. Dalam kitabnya itu pula, yang di dalamnya terkandung hukum fiqh, Imam
Tirmidzi menyertakan pula pendapat-pendapat para ulama’ dari berbagai madzhab,
baik yang telah disepakati ataupun yang masih diperselisihkan.
2.1.4 Imam
Tirmidzi
Nama lengkap Imam Tirmidzi adalah Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn
Tsawrah Ibn Musa Ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al Tirmidzi. Ahmad Muhammad
Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena Beliau mengalami Kebutaan di
masa tuanya. Menggunakan al-Sulami karena berasal dari Bani Sulaim, dari
Qabilah ‘Aylan, sedangkan al Bughi adalah nama desa tempat Imam Tirmidzi wafat,
yakni di Bugh dan dimakamkan juga disana.
Imam Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu ‘Isa, yang ternyata
sebagian ulama’ tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang
di-takhrij-kan Ibn Abi Syayban bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan
sebutan atau nama Abu ‘Isa yang berarti ayah dari ‘Isa. Padahal Isa tidak punya
Ayah. Dalam hal ini al Qari memberi penjelasan, bahwa yang dilarang itu apabila
nama Abu ‘Isa sebagai nama pertama atau nama asli, tetapi apabila hanya sebagai
sebutan atau julukan, maka tidak menjadi masalah. Itu dikarenakan untuk
membedakan dengan ulama-ulama yang menggunakan sebutan al-Tirmidzi juga seperti
Abu Abdullah Muhammad Ibn Ali Ibn Husayn al-Tirmidzi (Hakim al-Tirmidzi)
seorang penulis besar sekaligus Sufi, dan Sayyid Burhanuddin al-Tirmidzi
seorang sufi juga. Jadi Abu Isa yang dimaksud disini adalah Imam Tirmidzi yang
mengarang kitab Hadits Sunan al-Tirmidzi, yang lahir di tepi selatan sungai
Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan di kota Tirmidz.
Beberapa Penulis tidak menyebutkan secara pasti kapan Imam Tirmidzi
dilahirkan. Tetapi menurut Ahmad Muhammad Syakir sebagaimana yang telah dikutip
dari Syaikh Muhammad ‘Abd al Hadi al Sindi, bahwa Imam Tirmidzi lahir pada
tahun 207 H. Masalahnya pada zaman dahulu memang sering kali ulama’ sebagai
orang yang terkenal, orang besar, dicatat saat wafatnya, tetapi jarang
diketahui dan dicatat hari kelahirannya, karena budaya mencatat tanggal lahir
bagi seseorang belum memasyarakat. Al-Shalah al-Safadi dalam Nuqth al-Himyan
hanya menyatakan beberapa tahun setelah tahun 200 H beliau dilahirkan.
Mengenai tahun wafatnya, baik al-Dzahabi maupun al-‘Alamah Malla
‘Ali al-Qary menyebutkan tahun 279 H yakni dalam usia 70 tahun. Al-Syakir
menyebutkan bahwa Imam al-Tirmidzi wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279
H pada malam senin. Hal ini juga senada yang disampaikan oleh al-Hafidz
al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari al-Hafizh Abu Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz
al-Mustaghfiri sebagai ahli sejarah yang telah berkunjung ke Khurasan dan Lama
tinggal disana.
Peran
Imam Tirmidzi Dalam Pengembangan Hadits
Merumuskan
Hadits Hasan
Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam kajian hadits dikenal
istilah mardud dan maqbul. Sebuah hadits
yang dinyatakan maqbul dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan
pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan
bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak
sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Ditinjau dari segi maqbul dan mardud
diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits shahih, hadits dlaif, dan hadits
hasan.
Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad,
yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil,
dlabith, sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu
Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak
janggal.
Apabila bnyak tabi’in yang meriwayatkan, berate cukup kuat meskipun
lafadz tidak sama, asalkan maknanya masih ada kaitannya. Oleh karena itu Imam
Tirmidzi mengatakan hadits hasan tidak harus bersambung (ittishol), tetapi
harus tidak syadz dan banyak jalan. Contoh hadits hasan:
قَالَ لَهُ النبي
صلى الله عليه وسلم: أبغني احجارا استنفض بهن قال: فاتيته بحجرين وروثة: فاخذ الحجرين
وترك الروثة وقال: اِنها رج
Nabi bersabda kepadanya: carikanlah tiga batu untuk saya gunakan
untuk bersuci. Ia berkata:”maka saya bawakan kepadanya dua biji batu kerikil
dan sebiji kotoran hewan. Ia berkata:”Nabi mengambil dua batu dan meninggalkan
kotoran itu, seraya bersabda: “sesungguhnya kotoran itu adalah najis”
Hadits diatas menjelaskan, bahwa batu kerikil yang diminta Nabi
untuk bersuci adalah 3 biji batu kerikil. Ternyata Ibnu Mas’ud hanya
mendapatkan dua biji batu kerikil, yang dicoba ditambah dengan sebiji kotoran
hewan sehingga cukuplah 3 buah. Nabi hanya mengambil 2 batu kerikil karena yang
ketiga adalah kotoran hewan yang hukumnya najis. Imam Bukhari menilai hadits
ini Shahih dari Isnad Abu Hurayrah yang ditulis pada Bab Wudhu’.
Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini mempunyai Illat dan isnad
haditsnya adalah isnad Abi ‘Ubaidillah dari bapaknya, padahal menurut
penelitian Abi ‘Ubaidillah tidak mendengar dari bapaknya. Tetapi karena hadits
itu banyak isnadnya, maka menurut Tirmidzi hadits ini nilainya Hasan.
2.1.5 Imam Ahmad
Nama beliau adalah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad tahun 164 H.
Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 3 tahun. Lalu beliau diasuh oleh
Ibunya. Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian
beliau fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau
haji beberapa kali, kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar
menemui Abdurrozaq di Yaman dan belajar darinya. Beliau telah berkelana ke
negeri-negeri dan penjuru dunia. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama besar
saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan memuliakan beliau. [Lihat bidayah wa
nihayah, hal 14/381-383]
Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) –semoga Allah meridhoinya-
mulai menuntut ilmu dari para masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah,
Bashroh, Makah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah. Beliau menulis dari para
ulama setiap negeri” [Manaqib Imam Ahmad hal.46]
Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa
perkataan ulama tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya
melihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang
yang terdahulu dan yang terakhir pada setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai
yang dikehendakinya dan menahan yang dikehendakinya”Ahmad bin Sa’id Ar Roziy
berkata, “Saya belum pernah melihat orang yang lebih hafal hadits Rasulullah
dan lebih memahami fikih dan maknanya dari Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal”
[Manaqib Imam Ahmad hal.90]
Abu Zur’ah berkata, “Ahmad bin Hanbal hafal satu juta hadits”. Lalu
dikatakan kepadanya, “Bagaimana Anda mengetahui?” Dia (Abu Zur’ah) menjawab,
“Saya belajar padanya, saya mengambil darinya beberapa bab”
Amal dan Akhlaq beliau, dahulu para salafus salih belajar ilmu dan
amal secara bersamaan. Mereka belajar sekaligus mengamalkan ilmu mereka.
Dikatakan dalam sebuah perkataan hikmah ‘Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa
buah’. Allah berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqoroh: 282). Begitu pula Imam Ahmad. Beliau dikenal dengan
ilmu yang luas, amal salih dan akhlaq yang utama.
Madzab-madzab ahlussunnah seluruhnya adalah madzab yang haq,
terutama madzab imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’I dan Ahmad.
Setiap madzab ini memiliki ciri khas. Adapun ciri khas yang membedakan madzab
imam Ahmad dari yang lainnya adalah dekatnya dengan nash (dalil) dan
fatwa-fatwa para sahabat Rasulullah.
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sangat
tidak menyukai menyusun kitab. Beliau menyukai menulis hadits. Beliau sangat
tidak suka perkataannya ditulis. Allah mengetahui baiknya niat dan maksud
beliau. Perkataan dan fatwa-fatwa beliau ditulis mencapai lebih dari 30 kitab.
Allah menganugerahi kita dari kebanyakannya dan tidak hilang (tulisan-tulisan
tersebut) kecuali sedikit. Dan dikumpulkan nash-nash beliau di Al Jami’ al
Kabir sehingga sampai sekitar 20 kitab atau lebih. Diriwayatkan pula
fatwa-fatwa dan masa’il beliau dan dibicarakan (dibahas) dari generasi ke
generasi. Beliau pun menjadi imam dan qudwah ahlussunnah…” [I’lamul Muwaqi’in,
1/28]
Diantara karangan beliau:
1.
Al
Musnad dalam hadits. Imam Ahmad berkata pada anaknya, “Hafalkanlah karena
sesungguhnya dia akan menjadi imam bagi manusia”
2.
At
Tafsir, tediri dari sekitar 120 ribu hadits dan atsar.
3.
An
Nasikh wa Al Mansukh
4.
At
Tarikh
5.
Al
Muqoddam wa Al Muawwal fil Qur’an
6.
Jawabaati
Al Qur’aniyah
7.
Al
Manasik Al Kabir wa Al Shaghir.
8.
Az
Zuhd
9.
Ar
Rad ‘ala Al Jahmiyah
Beliau
meninggal malam Jum’at, malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal 241H. Jenazah beliau
dihadiri dan disholatkan oleh manusia yang begitu banyak jumlahnya. Dikatakan
dalam sebuat riwayat yang mensholati beliau sekitar 1 juta, dalam riwayat yang
lain bahkan sampai 1.6 juta. Semoga Allah merahmati beliau dan memberi balasan
yang sebaik-baiknya.
2.1.6 Ibnu Mâjah
Nama Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî. Nama
yang lebih familiar adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama
kakek beliau. Kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh. Nasab beliau: Ar Rib’I; merupakan
nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab. al Qazwînî adalah nisbah
kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di kawasan
‘Iraq. Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; “aku dilahirkan pada tahun 209
hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di
mana Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau beradaA di
Qazwin. Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau.
Ibnu majah memulai aktifitas menuntut ilmunya di negri tempat
tinggalnya Qazwin. Akan tetapi sekali lagi referensi-referensi yang ada sementara
tidak menyebutkan kapan beliau memulai menuntut ilmunya. Di Qazwin beliau
berguru kepada Ali bin Muhammad at Thanafusi, dia adalah seorang yang tsiqah,
berwibawa dan banyak meriwayatkan hadits. Maka Ibnu Majah tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, dia memperbanyak mendengar dan berguru kepadanya. Ath Thanafusi
meninggal pada tahun 233 hijriah, ketika itu Ibnu Majah berumur sekitar 24
tahun. Maka bisa di tarik kesimpulan bahwa permulaan Ibnu Majah menuntut ilmu
adalah ketika dia berumur dua puluh tahunan.
Ibnu Majah termotivasi untuk menuntut ilmu, dan dia tidak puas
dengan hanya tinggal di negrinya, maka beliaupun mengadakan rihlah ilmiahnya ke
sekitar negri yang berdampingan dengan negrinya, dan beliau mendengar hadits
dari negri-negri tersebut.
Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu
mengadakan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau pun keluar
meninggalkan negrinya untuk mendengar hadits dan menghafal ilmu. Berkeliling
mengitari negri-negri islam yang menyimpan mutiara hadits. Bakat dan minatnya
di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke
beberapa daerah dan negri guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis.
Puluhan negri telah ia kunjungi, antara lain:Khurasan; Naisabur dan
yang lainnya Ar Ray,Iraq; Baghdad, Kufah, Wasith dan Bashrah Hijaz; Makkah dan
Madinah Syam; damasqus dan Himsh Mesir. Guru-guru beliau Ibnu Majah sama dengan
ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak
sekali. Diantara guru beliau adalah; ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî Jabbarah
bin AL Mughallas Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair Suwaid bin Sa’îd Abdullâh bin
Muawiyah al JumahîMuhammad bin Ramh Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi Muhammad bin
Abdullah bin Numair Abu Bakr bin Abi Syaibah Hisyam bin ‘Ammar Abu Sa’id Al
Asyaj dan yang lainnya.
Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh, pemilik
kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.” Ibnu Katsîr
menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini
menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam
hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah dalam hal perkara-perakra dasar maupun
cabang Ibnu Majah adalah seorang ulama penyusun buku, dan hasil karya beliau
cukuplah banyak. Akan tetapi sangat di sayangkan, bahwa buku-buku tersebut
tidak sampai ke kita. Adapun diantara hasil karya beliau yang dapat di ketahui
sekarang ini adalah: Kitab as-Sunan yang masyhur,Tafsîr al Qurân al Karîm, Kitab
at Tarîkh yang berisi sejarah mulai dari masa ash-Shahâbah sampai masa beliau. Wafatnya
beliau,Beliau meninggal pada hari senin, tanggal duapuluh satu ramadlan tahun
dua ratus tujuh puluh tiga hijriah. Di kuburkan esok harinya pada hari selasa.
Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridlaan-Nya kepada beliau.
2.1.7 Imam an-Nasa`i
Nama Imam an-Nasa`i adalah
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr. Kuniyah Imam an-Nasa`i: Abu
Abdirrahman. Nasab Imam an-Nasa`i: An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada
negeri asal Imam an-Nasa`i, tempat Imam an-Nasa`i di lahirkan. Satu kota bagian
dari Khurasan. Beliau diahirkan pada tahun 215 hijriah. Sifat-sifat Imam
an-Nasa’i, An-Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan
segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang
karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik. Kondisi itu karena
beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya
dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan
banyak makan ayam.
Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena Imam an-Nasa`i
mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat
itu Imam an-Nasa`i berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di
negerinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga Imam an-Nasa`i dapat
menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.
Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki
oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian
dan keteliatian yang sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan
hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan
yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits,
mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i memperoleh
derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana Imam
an-Nasa`ipun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di
lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan
pekerjaan ini, bahkan Imam an-Nasa`i memiliki kekuatan kritik yang detail dan
akurat, sebagaimana yang digambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr;
‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki
hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-,
maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu
Lahi’ah yang dha’if.
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi Imam an-Nasa`i bukan hanya
memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi Imam an-Nasa`i berkeinginan
untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal
yang diada-adakan). Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu
selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al
Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i
tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan
kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara
membacakan kepadanya dan aku mendengar.’
Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal
tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan
tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam an Nasa`i
mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk
mendengar bacaan qari` dan Imam an-Nasa`i tidak dapat melihatnya. Para ulama
memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i “Sunan an-Nasa`i” sebagai kitab
kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud dan Jami’ at-Tirmidzi.
Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, Imam an-Nasa`i
berkeliling ke negeri-negeri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga
Imam an-Nasa`i dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari
para hafizh dan syaikh.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat disimpulkan bahwa ke-tujuh imam beserta kitab-kitabnya mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda, tetapi mereka sama-sama pergi ke berbagai
negara untuk menimba ilmu terutama dibidang hadis.
Mempelajari
biografi para perawi hadist sangatlah perlu sebelum mengkaji ilmu hadist lebih
dalam, karena dengan mengetahui biografi para perawi hadist kita bisa tahu
membedakan anatar hadist yang shohih, hasan, dhaif, mursal dll, dengan begitu
dalm mengkaji ilmu hadistnya akanlah sangat mudah.
3.2
Saran
Karena
pentingnya ilmu Hadits maka sebagai umat islam kita seharusnya lebih memahami
secara akan ilmu hadits tersebut serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, kita harus tetap menjaga kemurnian dari isi hadits
tersebut, karena bagaimanapun hadits merupakan pedoman setelah al Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi al Maliki, Muhammad. Ilmu Usul Hadits. Tej, Adnan Qohar
Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2009
Smeera, Zeid B. Ulumul Hadis Pengantar Sudi Hadis Praktis.
Malang:UIN Malang Press. 2008
Suryadi. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an dan Hadits.
Yogyakarta:Jurnal Tafsir Hadis Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Kali Jaga. 2003
Sutamadi, Ahmad. Al Imam at Tirmidzi Peranannya dalam
Pemgembangan Hadis dan Fiqih. Jakarta:Perpustakaan Nasional. 1998
Zakaria, Abu, htmlhttp://ukhuwahislamiah.com/biografi-singkat-imam-ahmad-bin-hanbal/
di akses 28 November 2016
http://bukuensiklopediahadits.blogspot.co.id/2013/04/biografi-imam-nasai. di akses 28 November 2016
Lidwa, http://www.lidwa.com/2011/biografi-imam-ibnu-majah/
di akses 28 November 2016
https://fikrijufrirenaissance.wordpress.com/2012/04/21/biografi-imam-tirmidzi/ di akses 28 November 2016
http://kuliah-nanamisnara.blogspot.co.id/2015/02/biografi-imam-abu-dawud.html di akses 28 November 2016
http://kumpulanhadits-shahih.blogspot.co.id/2012/10/biografi-imam-muslim.html di akses 28 November 2016
di akses 28
November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar